ISTIGHFAR DAN TAUBAT
A.
Hakikat Istighfar dan Taubat
Sebagian
besar orang menyangka bahwa istighfar dan taubat hanyalah cukup dengan lisan
semata. Sebagian mere-ka mengucapkan,
"Aku
memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat ke-padaNya"
Tetapi
kalimat-kalimat di atas tidak membekas di dalam hati, juga tidak berpengaruh
dalam perbuatan anggota badan. Sesungguhnya istighfar dan taubat jenis
ini adalah perbuatan orang-orang dusta.
Para
ulama – semoga Allah memberi balasan yang se-baik-baiknya kepada mereka
telah menjelaskan hakikat istighfar dan taubat.
Imam
Ar-Raghib Al-Ashfahani menerangkan: "Dalam istilah syara', taubat adalah
meninggalkan dosa karena ke-burukannya, menyesali dosa yang telah dilakukan,
berke-inginan kuat untuk tidak mengulanginya dan berusaha mela-kukan apa yang
bisa diulangi (diganti). Jika keempat hal itu telah terpenuhi berarti syarat
taubatnya telah sempurna"
Imam
An-Nawawi dengan redaksionalnya sendiri menje-laskan: "Para ulama berkata,
'Bertaubat dari setiap dosa hu-kumnya adalah wajib. Jika maksiat (dosa) itu
antara hamba dengan Allah, yang tidak ada sangkut pautnya dengan hak manusia
maka syaratnya ada tiga. Pertama, hendaknya ia menjauhi maksiat
tersebut. Kedua, ia harus menyesali per-buatan (maksiat)nya. Ketiga,
ia harus berkeinginan untuk tidak mengulanginya lagi. Jika salah satunya
hilang, maka taubatnya tidak sah.
Jika
taubat itu berkaitan dengan manusia maka syaratnya ada empat. Ketiga syarat di
atas dan keempat, hendaknya ia membebaskan diri (memenuhi) hak orang tersebut.
Jika ber-bentuk harta benda atau sejenisnya maka ia harus mengem-balikannya.
Jika berupa had (hukuman) tuduhan atau seje-nisnya maka ia harus
memberinya kesempatan untuk mem-balasnya atau meminta maaf kepadanya. Jika
berupa ghibah (menggunjing), maka ia harus meminta maaf."
Adapun
istighfar, sebagaimana diterangkan Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah
"Meminta (ampunan) dengan ucapan dan perbuatan. Dan firman Allah:
"Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia Maha Pengampun." (Nuh: 10).
Tidaklah
berarti bahwa mereka diperintahkan meminta ampun hanya dengan lisan semata,
tetapi dengan lisan dan perbuatan. Bahkan hingga dikatakan, memohon ampun
(istighfar) hanya dengan lisan saja tanpa disertai perbuatan adalah
pekerjaan para pendusta.
B.
Dalil Syar'i Bahwa Istighfar dan Taubat Termasuk Kunci Rizki
Beberapa
nash (teks) Al-Qur'an dan Al-Hadits me-nunjukkan bahwa istighfar dan
taubat termasuk sebab-sebab rizki dengan karunia Allah . Di bawah ini beberapa
nash dimaksud:
1.
Apa yang disebutkan Allah tentang Nuh yang berkata kepada kaumnya :
"Maka
aku katakan kepada mereka, 'Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu', sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anakmu
dan mengadakan untukmu kebun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya) untukmu
sungai-sungai'." (Nuh: 10-12).
Ayat-ayat
di atas menerangkan cara mendapatkan hal-hal berikut dengan istighfar.
- Ampunan Allah terhadap dosa-dosanya. Berdasarkan fir-manNya: "Sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun."
- Diturunkannya hujan yang lebat oleh Allah. Ibnu Abbas radhiallaahu anhu berkata " " adalah (hujan) yang turun dengan deras.
- Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak. Dalam menafsirkan ayat:Atha' berkata: "Niscaya Allah akan membanyakkan harta dan anak-anak kalian".
- Allah akan menjadikan untuknya kebun-kebun.
- Allah akan menjadikan untuknya sungai-sungai. Imam Al-Qurthubi berkata: "Dalam ayat ini, juga disebutkan dalam (surat Hud) adalah dalil yang menunjukkan bah-wa istighfar merupakan salah satu sarana meminta ditu-runkannya rizki dan hujan."
Al-Hafizh
Ibnu Katsir dalam Tafsirnya berkata: "Makna-nya, jika kalian bertaubat
kepada Allah, meminta ampun kepadaNya dan kalian senantiasa mentaatiNya niscaya
Ia akan membanyakkan rizki kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan
dari langit, mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan
tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian,
mem-banyakkan harta dan anak-anak untuk kalian, menjadikan kebun-kebun yang di
dalamnya bermacam-macam buah-buahan untuk kalian serta mengalirkan
sungai-sungai di antara kebun-kebun itu (untuk kalian)."
Demikianlah,
dan Amirul mukminin Umar bin Khaththab juga berpegang dengan apa yang
terkandung dalam ayat-ayat ini ketika beliau memohon hujan dari Allah .
Muthrif
meriwayatkan dari Asy-Sya'bi: "Bahwasanya Umar keluar untuk memohon
hujan bersama orang ba-nyak. Dan beliau tidak lebih dari mengucapkan istighfar
(memohon ampun kepada Allah) lalu beliau pulang. Maka seseorang bertanya
kepadanya, 'Aku tidak mendengar Anda memohon hujan'. Maka ia menjawab, 'Aku
memohon diturunkannya hujan dengan majadih langit yang dengannya
diharapkan bakal turun air hujan. Lalu beliau membaca ayat:
"Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan
mengirimkan hujan kepadamu dengan lebat." (Nuh: 10-11).
Imam
Al-Hasan Al-Bashri juga menganjurkan istighfar (memohon ampun) kepada
setiap orang yang mengadukan kepadanya tentang kegersangan, kefakiran,
sedikitnya ketu-runan dan kekeringan kebun-kebun.
Imam
Al-Qurthubi menyebutkan dari Ibnu Shabih, bah-wasanya ia berkata: "Ada
seorang laki-laki mengadu kepada Al-Hasan Al-Bashri tentang kegersangan (bumi)
maka beliau berkata kepadanya, "Beristighfarlah kepada Allah!" Yang
lain mengadu kepadanya tentang kemiskinan maka beliau berkata kepadanya,
"Beristighfarlah kepada Allah!" Yang lain lagi berkata kepadanya,
"Do'akanlah (aku) kepada Allah, agar ia memberiku anak!" Maka beliau
mengatakan kepadanya, "Beristighfarlah kepada Allah!" Dan yang lain
lagi mengadu kepadanya tentang kekeringan kebunnya maka beliau mengatakan
(pula) kepadanya, "Beristighfarlah kepa-da Allah!"
Dan
kami menganjurkan demikian kepada orang yang mengalami hal yang sama. Dalam
riwayat lain disebutkan: "Maka Ar-Rabi' bin Shabih berkata kepadanya,
'Banyak orang yang mengadukan bermacam-macam (perkara) dan Anda memerintahkan
mereka semua untuk beristighfar. Maka Al-Hasan Al-Bashri menjawab, 'Aku
tidak mengata-kan hal itu dari diriku sendiri. Tetapi sungguh Allah telah berfirman
dalam surat Nuh:
"Mohonlah
ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun, niscaya Dia akan
mengirim-kan hujan kepadamu dengan lebat, dan membanyakkan harta dan
anak-anakmu dan mengadakan untukmu ke-bun-kebun dan mengadakan (pula di dalamnya)
untukmu sungai-sungai." (Nuh:
10-12).
Allahu
Akbar! Betapa agung, besar dan banyak
buah dari istighfar! Ya Allah, jadikanlah kami termasuk hamba-ham-baMu
yang pandai beristighfar. Dan karuniakanlah kepada kami buahnya, di
dunia maupun di akhirat. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar dan Maha
Mengabulkan. Amin, wahai Yang Maha Hidup dan terus menerus mengurus MakhlukNya.
2.
Ayat lain adalah firman Allah yang menceritakan ten-tang seruan Hud
kepada kaumnya agar beristighfar.
"Dan
(Hud berkata), 'Hai kaumku, mohonlah ampun kepada Tuhanmu lalu bertaubatlah
kepadaNya, niscaya Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atasmu dan Dia akan
menambahkan kekuatan kepada kekuatanmu dan janganlah kamu berpaling dengan
berbuat dosa'." (Hud:52).
Al-Hafizh
Ibnu katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia di atas menyatakan:
"Kemudian Hud memerintahkan kaumnya untuk beristighfar yang
dengannya dosa-dosa yang lalu dapat dihapuskan, kemudian memerintahkan mereka
bertaubat untuk masa yang akan mereka hadapi. Barangsiapa memiliki sifat
seperti ini, niscaya Allah akan memudahkan rizkinya, melancarkan urusannya dan
menjaga keadaannya. Karena itu Allah berfirman:
"Niscaya
Dia menurunkan hujan yang sangat lebat atas-mu".
Ya
Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang memiliki sifat taubat dan
istighfar, dan mudahkanlah rizki-rizki kami, lancarkanlah urusan-urusan
kami serta jagalah keadaan kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengabulkan doa. Amin, wahai Dzat Yang Memiliki keagungan dan kemuliaan.
3.
Ayat yang lain adalah firman Allah:
"Dan
hendaklah kamu meminta ampun kepada Tuhanmu dan bertaubat kepadaNya. (jika kamu
mengerjakan yang demikian), niscaya Dia akan memberi kenikmatan yang baik
(terus menerus) kepadamu sampai kepada waktu yang telah ditentukan, dan Dia
akan memberi kepada tiap-tiap orang yang mempunyai keutamaan (balasan)
keutamaannya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya aku takut kamu akan
ditimpa siksa hari Kiamat." (Hud:
3).
Pada
ayat yang mulia di atas, terdapat janji dari Allah Yang Maha Kuasa dan Maha
Menentukan berupa kenikmatan yang baik kepada orang yang beristighfar dan
bertaubat. Dan maksud dari firmanNya:
"Niscaya
Dia akan memberi kenikmatan yang baik (terus-menerus) kepadamu." Sebagaimana
dikatakan oleh Abdullah bin Abbas adalah, "Ia akan menganugerahi rizki dan
kelapangan kepada kalian".
Sedangkan
Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan: "Inilah buah dari istighfar
dan taubat. Yakni Allah akan memberi kenikmatan kepada kalian dengan berbagai
manfaat berupa kelapangan rizki dan kemakmuran hidup serta Ia tidak akan
menyiksa kalian sebagaimana yang dilakukanNya terhadap orang-orang yang
dibinasakan sebelum kalian.
Dan
janji Tuhan Yang Maha Mulia itu diutarakan dalam bentuk pemberian balasan
sesuai dengan syaratnya. Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syinqithi berkata:
"Ayat yang mulia tersebut menunjukkan bahwa beristighfar dan ber-taubat
kepada Allah dari dosa-dosa adalah sebab sehingga Allah menganugerahkan
kenikmatan yang baik kepada orang yang melakukannya sampai pada waktu yang
ditentu-kan. Allah memberikan balasan (yang baik) atas istighfar dan
taubat itu dengan balasan berdasarkan syarat yang dite-tapkan".
4.
Dalil lain bahwa beristighfar dan taubat adalah di antara kunci-kunci rizki
yaitu hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa'i, Ibnu Majah dan
Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas ia berkata, Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa
memperbanyak istighfar (mohon ampun kepada Allah), niscaya Allah menjadikan
untuk setiap kesedihannya jalan keluar dan untuk setiap kesempitan-nya
kelapangan dan Allah akan memberinya rizki (yang halal) dari arah yang tiada
disangka-sangka".
Dalam
hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, yang berbicara
berdasarkan wahyu, mengabarkan tentang tiga hasil yang dapat dipetik oleh
orang yang mem-perbanyak istighfar. Salah satunya yaitu, bahwa Allah
Yang Maha Memberi rizki, yang Memiliki kekuatan akan mem-berikan rizki dari
arah yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan serta tidak pernah
terdetik dalam hatinya.
Karena
itu, kepada orang yang mengharapkan rizki hen-daklah ia bersegera untuk
memperbanyak istighfar (memo-hon ampun), baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Dan hendaknya setiap muslim waspada, sekali lagi hendaknya waspada,
dari melakukan istighfar hanya sebatas dengan lisan tanpa perbuatan.
Sebab itu adalah pekerjaan para pendusta.
TAQWA
A.
MAKNA TAQWA
Para
ulama telah menjelaskan apa yang dimaksud dengan taqwa. Di antaranya, Imam
Ar-Raghib Al-Ashfahani mendefinisikan: "Taqwa yaitu menjaga jiwa dari
perbuatan yang membuatnya berdosa, dan itu dengan meninggalkan apa yang
dilarang, menjadi sempurna dengan meninggalkan sebagian yang dihalalkan".
Sedangkan
Imam An-Nawawi mendefinisikan taqwa dengan "Mentaati perintah dan
laranganNya." Maksudnya, menjaga diri dari kemurkaan dan adzab Allah . Hal
itu sebagaimana didefinisikan oleh Imam Al-Jurjani "Taqwa yaitu menjaga
diri dari pekerjaan yang mengakibatkan siksa, baik dengan melakukan perbuatan
atau meninggalkannya."
Karena
itu, siapa yang tidak menjaga dirinya, dari perbuatan dosa, berarti dia
bukanlah orang bertaqwa. Maka orang yang melihat dengan kedua matanya apa yang
diharamkan Allah, atau mendengarkan dengan kedua telinganya apa yang dimurkai
Allah, atau mengambil dengan kedua tangan-nya apa yang tidak diridhai Allah,
atau berjalan ke tempat yang dikutuk Allah, berarti tidak menjaga dirinya dari
dosa.
Jadi,
orang yang membangkang perintah Allah serta me-lakukan apa yang dilarangNya,
dia bukanlah termasuk orang-orang yang bertaqwa.
Orang
yang menceburkan diri ke dalam maksiat sehingga ia pantas mendapat murka dan
siksa dari Allah, maka ia telah mengeluarkan dirinya dari barisan orang-orang
yang bertaqwa.
B.
DALIL SYAR'I BAHWA TAQWA TERMASUK KUNCI RIZKI
Beberapa
nash yang menunjukkan bahwa taqwa terma-suk di antara sebab rizki, Di
antaranya:
1.
Firman Allah:
"Barangsiapa
yang bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya.
Dan memberi-nya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq: 2-3).
Dalam
ayat di atas, Allah menjelaskan bahwa orang yang merealisasikan taqwa akan
dibalas Allah dengan dua hal. Pertama, "Allah akan mengadakan jalan
keluar baginya." Artinya, Allah akan menyelamatkannya –sebagaimana
dika-takan Ibnu Abbas Radhiallaahu anhu – dari setiap kesusahan dunia
maupun akhirat. Kedua, "Allah akan memberinya rizki dari arah yang
tidak disangka-sangka." Artinya, Allah akan memberi-nya rizki yang tak
pernah ia harapkan dan angankan.
Al-Hafizh
Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan: "Maknanya, barangsiapa yang
bertaqwa kepada Allah de-ngan melakukan apa yang diperintahkanNya dan
mening-galkan apa yang dilarangNya, niscaya Allah akan membe-rinya jalan keluar
serta rizki dari arah yang tidak disangka-sangka, yakni dari arah yang tidak
pernah terlintas dalam benaknya,"
Alangkah
agung dan besar buah taqwa itu! Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Sesungguhnya ayat terbesar dalam hal pemberian janji jalan keluar adalah:
"Barangsiapa
bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya".
2.
Ayat lainnya adalah firman Allah:
"Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada me-reka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendus-takan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa
mereka di-sebabkan perbuatan mereka sendiri". (Al-A'raf: 96).
Dalam
ayat yang mulia ini Allah menjelaskan, seandai-nya penduduk negeri-negeri
merealisasikan dua hal, yakni iman dan taqwa, niscaya Allah akan melapangkan
kebaikan (kekayaan) untuk mereka dan memudahkan mereka menda-patkannya dari
segala arah.
Menafsirkan
firman Allah: "Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka
berbagai berkah dari langit dan bumi, Abdullah bin Abbas mengatakan:
"Niscaya Kami lapangkan kebaikan (ke-kayaan) untuk mereka dan Kami
mudahkan bagi mereka untuk mendapatkan dari segala arah."
Janji
Allah yang terdapat dalam ayat yang mulia tersebut terhadap orang-orang beriman
dan bertaqwa mengandung beberapa hal, di antaranya:
a.
Janji Allah untuk membuka " " (keberkahan) bagi mereka. ""
adalah bentuk jama' dari " " Imam Al-Baghawi berkata, Ia berarti mengerjakan
sesuatu secara terus menerus. Atau seperti kata Imam Al-Khazin, "Tetapnya
suatu kebaikan Tuhan atas sesuatu."
Jadi,
yang dapat disimpulkan dari makna kalimat " " adalah bahwa apa yang
diberikan Allah disebabkan oleh keimanan dan ketaqwaan mereka merupakan
kebaikan yang terus menerus, tidak ada keburukan atau konsekuensi apa pun atas
mereka sesudahnya.
Tentang
hal ini, Sayid Muhammad Rasyid Ridha berkata: "Adapun orang-orang beriman
maka apa yang dibukakan untuk mereka adalah berupa berkah dan kenikmatan. Dan
untuk hal itu, mereka senantiasa bersyukur kepada Allah, ridha terhadapNya dan
mengharapkan karuniaNya. Lalu mereka menggunakannya di jalan kebaikan, bukan
jalan keburukan, untuk perbaikan bukan untuk merusak. Sehingga balasan bagi
mereka dari Allah adalah ditambahnya berbagai kenikmatan di dunia dan pahala
yang baik di akhirat."
Syaikh
Ibnu Asyur mengungkapkan hal itu dengan ucapannya: " " adalah
kebaikan yang murni yang tidak ada konsekuensinya di akhirat. Dan ini adalah
sebaik-baik jenis nikmat."
b.
Kata berkah disebutkan dalam bentuk jama' sebagai-mana firman Allah:
"Pastilah
Kami akan melimpahkan kepada mereka berbagai berkah." Ayat ini, sebagaimana disebutkan Syaikh Ibnu Asyur
untuk menunjukan banyaknya berkah sesuai dengan banyaknya sesuatu yang
diberkahi.
c.
Allah berfirman:
"Berbagai
keberkahan dari langit dan bumi". Menurut Imam Ar-Razi, maksudnya
adalah keberkahan langit dengan turunnya hujan, keberkahan bumi dengan
tumbuhnya berba-gai tanaman dan buah-buahan, banyaknya hewan ternak dan
gembalaan serta diperolehnya keamanan dan keselamatan. Hal ini karena langit
adalah laksana ayah, dan bumi laksana Ibu. Dari keduanya diperoleh semua bentuk
manfaat dan kebaikan berdasarkan penciptaan dan pengurusan Allah ."
3.
Ayat lainnya adalah firman Allah:
"Dan
sekiranya mereka sungguh-sungguh menjalankan (hukum) Taurat, Injil dan
(Al-Qur'an) yang diturunkan kepada mereka dari Tuhannya, niscaya mereka akan
mendapat makanan dari atas mereka dan dari bawah kaki mereka. Diantara mereka
ada golongan pertengah-an. Dan alangkah buruknya apa yang dikerjakan oleh
kebanyakan mereka". (Al-Ma'idah:
66).
Allah
mengabarkan tentang Ahli Kitab, 'Bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang
ada di dalam Taurat, Injil dan Al-Qur'an –demikian seperti dikatakan oleh
Abdullah bin Abbas c dalam menafsirkan ayat terse-but,– niscaya Allah
memperbanyak rizki yang diturunkan kepada mereka dari langit dan yang tumbuh
untuk mereka dari bumi.
Syaikh
Yahya bin Umar Al-Andalusi berkata: "Allah menghendaki –wallahu a'lam–
bahwa seandainya mereka mengamalkan apa yang diturunkan di dalam Taurat,
Injil dan Al-Qur'an, niscaya mereka memakan dari atas dan dari bawah kaki
mereka. Maknanya –wallahu'alam–, niscaya mereka diberi
kelapangan dan kesempurnaan nikmat du-nia,"
Dalam
menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi mengata-kan, "Dan sejenis dengan
ayat ini adalah firman Allah:
"Barangsiapa
bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan
memberinya rizki dari arah yang tidak disangka-sangkanya." (Ath-Thalaq:2-3).
"Dan
bahwasanya jika mereka tetap berjalan di atas ja-lan itu (agama Islam),
benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rizki yang
ba-nyak)." (Al-Jin: 16).
"Jikalau
sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan
melimpahkan kepada me-reka berbagai keberkahan dari langit dan bumi." (Al-A'raf: 96).
Sebagaimana
disebutkan dalam ayat-ayat di atas, Allah menjadikan ketaqwaan di antara
sebab-sebab rizki dan men-janjikan untuk menambahnya bagi orang yang bersyukur.
Allah
berfirman:
"Jika
kalian bersyukur, niscaya Aku tambahkan nikmat-Ku atasmu." (Ibrahim: 7).
Karena
itu, setiap orang yang menginginkan keluasan rizki dan kemakmuran hidup,
hendaknya ia menjaga dirinya dari segala dosa. Hendaknya ia menta'ati
perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-laranganNya. Juga hendaknya ia
menjaga diri dari yang menyebabkan berhak mendapat siksa, seperti melakukan
kemungkaran atau meninggalkan kebaikan.
BERTAWAKKAL KEPADA ALLAH
Termasuk
di antara sebab diturunkannya rizki adalah bertawakkal kepada Allah dan
Yang kepadaNya tempat bergantung
A.
Yang Dimaksud Bertawakkal kepada Allah
Para
ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik balasan– telah
menjelaskan makna tawakkal. Di antaranya adalah Imam Al-Ghazali, beliau
berkata: "Tawak-kal adalah penyandaran hati hanya kepada wakil (yang
di-tawakkali) semata."
Al-Allamah
Al-Manawi berkata: "Tawakkal adalah me-nampakkan kelemahan serta
penyandaran (diri) kepada yang di tawakkali."
Menjelaskan
makna tawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, Al-Mulla Ali Al-Qori
berkata: "Hendaknya kalian ketahui secara yakin bahwa tidak ada yang
berbuat dalam alam wujud ini kecuali Allah, dan bahwa setiap yang ada, baik
makhluk maupun rizki, pem-berian atau pelarangan, bahaya atau manfaat,
kemiskinan atau kekayaan, sakit atau sehat, hidup atau mati dan segala hal yang
disebut sebagai sesuatu yang maujud (ada), semua-nya itu adalah dari
Allah."
B.
Dalil syar'i Bahwa Bertawakkal kepada Allah Termasuk Kunci Rizki
Imam
Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Al-Muba-rak, Ibnu Hibban, Al-Hakim,
Al-Qhudha'i dan Al-Baghawi meriwayatkan dari Umar bin Khaththab bahwa
Rasulullah bersabda:
"Sungguh,
seandainya kalian bertawakkal kepada Allah sebenar-benar tawakkal, niscaya
kalian akan diberi rizki sebagaimana rizki burung-burung. Mereka berangkat
pagi-pagi dalam keadaan lapar, dan pulang sore hari dalam keadaan
kenyang."
Dalam
hadits yang mulia ini, Rasulullah yang ber-bicara dengan wahyu
menjelaskan, orang yang bertawakkal kepada Allah dengan sebenar-benar tawakkal,
niscaya dia akan diberi rizki oleh Allah sebagaimana burung-burung diberiNya
rizki. Betapa tidak demikian, karena dia telah bertawakkal kepada Dzat Yang
Maha Hidup, Yang tidak pernah mati. Karena itu, barangsiapa bertawakkal
kepada-Nya, niscaya Allah akan mencukupinya. Allah berfirman:
"Dan
barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan
(keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)Nya.
Se-sungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu." (Ath-Thalaq: 3).
Menafsirkan
ayat tersebut, Ar-Rabi' bin Khutsaim me-ngatakan: "(Mencukupkan) diri
setiap yang membuat sempit manusia".
C.
Apakah Tawakkal itu Berarti Mening-galkan Usaha?
Sebagian
orang mukmin ada yang berkata: "Jika orang yang bertawakkal kepada Allah
itu akan diberi rizki, maka kenapa kita harus lelah, berusaha dan mencari
penghidupan. Bukankah kita cukup duduk-duduk dan bermalasan-malasan, lalu rizki
kita datang dari langit?"
Perkataan
ini sungguh menunjukkan kebodohan orang yang mengucapkan tentang hakikat
tawakkal. Nabi kita yang mulia telah menyerupakan orang yang bertawakkal dan
di-beri rizki itu dengan burung yang pergi di pagi hari dan pulang pada sore
hari, padahal burung itu tidak memiliki sandaran apapun, baik perdagangan,
pertanian, pabrik atau pekerjaan tertentu. Ia keluar berbekal tawakkal kepada
Allah Yang Maha Esa dan Yang kepadanya tempat bergantung. Dan sungguh para
ulama –semoga Allah membalas mereka dengan sebaik-baik kebaikan– telah
memperingatkan masa-lah ini. Di antaranya adalah Imam Ahmad, beliau berkata:
" Dalam hadits tersebut tidak ada isyarat yang membolehkan untuk
meninggalkan usaha, sebaliknya justru di dalamnya ada isyarat yang menunjukkan
perlunya mencari rizki. Jadi maksud hadits tersebut, bahwa seandainya mereka
berta-wakkal kepada Allah dalam kepergian, kedatangan dan usa-ha mereka, dan
mereka mengetahui kebaikan (rizki) itu di TanganNya, tentu mereka tidak akan
pulang kecuali dalam keadaan mendapatkan harta dengan selamat, sebagaimana
burung-burung tersebut."
Imam
Ahmad pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang hanya duduk di rumah atau
masjid seraya berkata, 'Aku tidak mau bekerja sedikit pun, sampai rizkiku
datang sendiri'. Maka beliau berkata, Ia adalah laki-laki yang tidak mengenal
ilmu. Sungguh Nabi bersabda:
"Sesungguhnya
Allah telah menjadikan rizkiku melalui panahku."
Dan
beliau bersabda: "Sekiranya kalian bertawakkal kepada Allah dengan
se-benar-benar tawakkal, niscaya Allah memberimu rizki sebagaimana yang
diberikanNya kepada burung-burung berangkat pagi-pagi dalam keadaan
lapar dan pulang sore hari dalam keadaan kenyang."
Dalam
hadits tersebut dikatakan, burung-burung itu berangkat pagi-pagi dan pulang
sore hari dalam rangka men-cari rizki.
Selanjutnya
Imam Ahmad berkata: "Para Sahabat berda-gang dan bekerja dengan pohon
kurmanya. Dan mereka itu-lah teladan kita".
Syaikh
Abu Hamid berkata: "Barangkali ada yang mengi-ra bahwa makna tawakkal
adalah , meninggalkan pekerjaan secara fisik, meninggalkan perencanaan dengan
akal serta menjatuhkan diri di atas tanah seperti sobekan kain yang
di-lemparkan, atau seperti daging di atas landasan tempat me-motong daging. Ini
adalah sangkaan orang-orang bodoh. Semua itu adalah haram menurut hukum
syari'at. Sedangkan syari'at memuji orang yang bertawakkal. Lalu, bagaimana
mungkin sesuatu derajat ketinggian dalam agama dapat di-peroleh dengan hal-hal
yang dilarang oleh agama pula?
Hakikat
yang sesungguhnya dalam hal ini dapat kita kata-kan, "Sesungguhnya
pengaruh bertawakkal itu tampak da-lam gerak dan usaha hamba ketika bekerja
untuk mencapai tujuan-tujuannya".
Imam
Abul Qosim Al-Qusyairi berkata: "Ketahuilah se-sungguhnya tawakkal itu
letaknya di dalam hati. Adapun gerak secara lahiriah hal itu tidak bertentangan
dengan ta-wakkal yang ada di dalam hati setelah seorang hamba me-yakini bahwa
rizki itu datangnya dari Allah. Jika terdapat kesulitan, maka hal itu adalah
karena taqdirNya, dan jika terdapat kemudahan maka hal itu karena kemudahan
dariNya."
Di
antara yang menunjukkan bahwa tawakkal kepada Allah tidaklah berarti
meninggalkan usaha adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hibban dan Imam
Al-Hakim dari Ja'far bin Amr bin Umayah dari ayahnya , ia berkata:
"Seseorang
berkata kepada Nabi , Aku lepaskan unta-ku dan (lalu) aku bertawakkal?'
Nabi bersabda: 'Ikatlah kemudian bertawakkallah'."
Dan
dalam riwayat Al-Qudha'i disebutkan: "Amr bin Umayah berkata:
'Aku bertanya,'Wahai Rasulullah, Apakah aku ikat dahulu (tunggangan)ku lalu aku
bertawakkal kepada Allah, atau aku lepaskan begitu saja lalu aku bertawakkal?'
Beliau menjawab, 'Ikatlah kendaran (unta)mu lalu bertawakkallah'."
Kesimpulan
dari pembahasan ini adalah bahwa tawakkal tidaklah berarti meninggalkan usaha.
Dan sungguh setiap muslim wajib berpayah-payah, bersungguh-sungguh dan berusaha
untuk mendapatkan penghidupan. Hanya saja ia tidak boleh menyandarkan diri pada
kelelahan, kerja keras dan usahanya, tetapi ia harus meyakini bahwa segala
urusan adalah milik Allah, dan bahwa rizki itu hanyalah dari Dia semata.
BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA
Di
antara kunci-kunci rizki adalah beribadah kepada Allah sepenuhnya
A.
Makna Beribadah Kepada Allah Sepenuhnya.
Hendaknya
seseorang tidak mengira bahwa yang dimak-sud beribadah sepenuhnya adalah dengan
meninggalkan usaha untuk mendapatkan penghidupan dan duduk di masjid sepanjang
siang dan malam. Tetapi yang dimaksud – wallahu a'lam– adalah hendaknya
seorang hamba beribadah dengan hati dan jasadnya, khusyu' dan merendahkan diri
di hadapan Allah Yang Maha Esa, menghadirkan (dalam hati) betapa besar
keagungan Allah, benar-benar merasa bahwa ia sedang bermunajat kepada Allah
Yang Maha Menguasai dan Maha Menentukan. Yakni beribadah sebagaimana yang
disebutkan dalam sebuah hadits:
"Hendaknya
kamu beribadah kepada Allah seakan-akan kami melihatNya. Jika kamu tidak
melihatNya maka sesungguhnya Dia
melihatmu."
Janganlah
engkau termasuk orang-orang yang (ketika beribadah) jasad mereka berada di
masjid, sedang hatinya berada di luar masjid.
Menjelaskan
sabda Rasulullah : "Beribadahlah sepenuhnya kepadaKu". Al-Mulla
Ali Al-Qari berkata, "Maknanya, jadikanlah hatimu benar-benar sepenuhnya
(berkonsentrasi) untuk beribadah kepada Tuhan-mu".
B.
DALIL SYAR'I BAHWA BERIBADAH KEPADA ALLAH SEPENUHNYA TERMASUK KUNCI RIZKI
Ada
beberapa nash yang menunjukkan bahwa beribadah sepenuhnya kepada Allah termasuk
di antara kunci-kunci rizki. Beberapa nash tesebut di antaranya adalah:
1.
Hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, At-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Al-Hakim dari
Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:
"Sesungguhnya
Allah berfirman, 'wahai anak Adam!, beribadahlah sepenuhnya kepadaKu,
niscaya Aku penuhi (hatimu yang ada) di dalam dada dengan kekayaan dan Aku
penuhi kebutuhanmu. Jika tidak kalian lakukan, nis-caya Aku penuhi tanganmu
dengan kesibukan dan tidak Aku penuhi kebutuhanmu (kepada manusia)'."
Nabi
dalam hadits tersebut menjelaskan, bahwasanya Allah menjanjikan kepada orang
yang beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua hadiah, sebaliknya mengancam
bagi yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya dengan dua siksa. Adapun dua
hadiah itu adalah Allah mengisi hati orang yang beribadah kepadaNya sepenuhnya
dengan keka-yaan serta memenuhi kebutuhannya. Sedangkan dua siksa itu adalah
Allah memenuhi kedua tangan orang yang tidak beribadah kepadaNya sepenuhnya
dengan berbagai kesibuk-an, dan ia tidak mampu memenuhi kebutuhannya, sehingga
ia tetap membutuhkan kepada manusia.
2.
Hadits riwayat Imam Al-Hakim dari Ma'qal bin Yasar ia berkata,
Rasulullah bersabda:
"Tuhan
kalian berkata, 'Wahai anak Adam, beribadah-lah kepadaKu sepenuhnya, niscaya
Aku penuhi hatimu dengan kekayaan dan Aku penuhi kedua tanganmu dengan rizki.
Wahai anak Adam, jangan jauhi Aku sehingga Aku penuhi hatimu dengan kefakiran
dan Aku penuhi kedua tangamu dengan kesibukan."
Dalam
hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia, yang berbicara berdasarkan wahyu
mengabarkan tentang janji Allah, yang tak satu pun lebih memenuhi janji
daripadaNya, berupa dua jenis pahala bagi orang yang benar-benar ber-ibadah kepada
Allah sepenuhnya. Yaitu, Allah pasti meme-nuhi hatinya dengan kekayaan dan
kedua tangannya dengan rizki.
Sebagaimana
Nabi juga memperingatkan akan ancam-an Allah kepada orang yang
menjauhiNya dengan dua jenis siksa. Yaitu Allah pasti memenuhi hatinya dengan
kefakiran dan kedua tangannya dengan kesibukan.
Dan
semua mengetahui, siapa yang hatinya dikayakan oleh Yang Maha Memberi kekayaan,
niscaya tidak akan didekati oleh kemiskinan selama-lamanya. Dan siapa yang
kedua tangannya dipenuhi rizki oleh Yang Maha Memberi rizki dan Maha Perkasa,
niscaya ia tidak akan pernah pailit selama-lamanya. Sebaliknya, siapa yang
hatinya dipenuhi dengan kefakiran oleh Yang Maha Kuasa dan Maha Menentukan,
niscaya tak seorang pun mampu membuatnya kaya. Dan siapa yang disibukkan oleh
Yang Maha Perkasa dan Maha Memaksa, niscaya tak seorang pun yang mampu
memberinya waktu luang.
MELANJUTKAN HAJI DENGAN UMRAH ATAU SEBALIKNYA
Di
antara perbuatan yang dijadikan Allah termasuk kunci-kunci rizki yaitu
melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya
A.
Yang Dimaksud Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya
Syaikh
Abul Hasan As-Sindi menjelaskan tentang mak-sud melanjutkan haji dengan umrah
atau sebaliknya berkata: "Jadikanlah salah satunya mengikuti yang lain, di
mana ia dilakukan sesudahnya. Artinya, jika kalian menunaikan haji maka
tunaikanlah umrah. Dan jika kalian menunaikan umrah maka tunaikanlah haji,
sebab keduanya saling mengikuti.
B.
Dalil Syar'i Bahwa Melanjutkan Haji Dengan Umrah Atau Sebaliknya Termasuk Kunci
Rizki
Di
antara hadits-hadits yang menunjukkan bahwa melan-jutkan haji dengan umrah atau
sebaliknya termasuk kunci-kunci rizki adalah :
1.
Imam Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Hibban meriwayatkah dari Abdullah bin
Mas'ud berkata, Rasulullah bersabda:
"Lanjutkanlah
haji dengan umrah, karena sesungguhnya keduanya menghilangkan kemiskinan dan
dosa, sebagai-mana api dapat menghilangkan kotoran besi, emas dan perak. Dan
tidak ada pahala haji yang mabrur itu melainkan Surga".
Dalam
hadits yang mulia tersebut Nabi yang terper-caya, yakni berbicara dengan
wahyu menjelaskan bahwa buah melanjutkan haji dengan umrah atau sebaliknya
adalah hilangnya kemiskinan dan dosa. Imam Ibnu Hibban mem-beri judul hadits
ini dalam kitab shahihnya dengan:
"Keterangan
Bahwa Haji dan Umrah Menghilangkan Dosa-dosa dan Kemiskinan dari Setiap Muslim
dengan Sebab Keduanya."
Sedangkan
Imam Ath-Thayyibi dalam menjelaskan sabda Nabi :
"Sesungguhnya
keduanya menghilangkan kemiskinan dan dosa-dosa", dia berkata, "Kemampuan keduanya untuk
menghilangkan kemiskinan seperti kemampuan amalan ber-sedekah dalam menambah
harta."
2.
Hadits riwayat Imam An-Nasa'i dari Ibnu Abbas c, ia berkata bahwa
Rasulullah pernah bersabda:
"Lanjutkanlah
haji dengan umrah atau sebaliknya. Kare-na sesungguhnya keduanya dapat
menghilangkan kemis-kinan dan dosa-dosa sebagaimana api dapat menghi-langkan
kotoran besi."
Maka
orang-orang yang menginginkan untuk dihilangkan kemiskinan dan dosa-dosanya,
hendaknya ia segera melan-jutkan hajinya dengan umrah atau sebaliknya.
SILATURRAHIM
A.
Makna Silaturrahim
Makna
"ar-rahim" adalah para kerabat dekat. Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata: "Ar-rahim" secara umum adalah dimak-sudkan untuk para
kerabat dekat. Antara mereka terdapat garis nasab (keturunan), baik
berhak mewarisi atau tidak, dan sebagai mahram atau tidak."
Menurut
pendapat lain, mereka adalah maharim (para kerabat dekat yang haram dinikahi)
saja.
Pendapat
pertama lebih kuat, sebab menurut batasan yang kedua, anak-anak paman dan
anak-anak bibi bukan kerabat dekat karena tidak termasuk yang haram dinikahi,
padahal tidak demikian."
Silaturrahim,
sebagaimana dikatakan oleh Al-Mulla Ali Al-Qari adalah kinayah
(ungkapan/sindiran) tentang berbuat baik kepada para karib kerabat dekat –baik
menurut garis keturunan maupun perkawinan– berlemah lembut dan mengasihi mereka
serta menjaga keadaan mereka.
B.
Dalil Syar'i Bahwa Silaturrahim Termasuk Kunci Rizki
Beberapa
hadits dan atsar menunjukkan bahwa Allah menjadikan silaturrahim
termasuk di antara sebab kelapang-an rizki. Di antara hadits-hadits dan atsar-atsar
itu adalah:
1.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah , ia berkata, 'Aku mendengar
Rasulullah bersabda:
"Siapa
yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan di-akhirkan ajalnya (dipanjangkan
umurnya) maka hen-daknyalah ia menyambung (tali) silaturrahim".
2.
Dalil lain adalah hadits riwayat Imam Al-Bukhari dari Anas bin Malik bahwasanya
Rasulullah bersabda:
"Siapa
yang suka untuk dilapangkan rizkinya dan
di-akhirkan usianya (dipanjangkan umurnya), hendaklah ia menyambung
silaturrahim."
Dalam
hadits yang mulia di atas, Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim membuahkan
dua hal, kelapangan rizki dan bertambahnya usia.
Ini
adalah tawaran terbuka yang disampaikan oleh makh-luk Allah yang paling benar
dan jujur, yang berbicara berda-sarkan wahyu, Nabi Muhammad . Maka barangsiapa
me-nginginkan dua buah di atas hendaknya ia menaburkan be-nihnya, yaitu
silaturrahim. Demikianlah, sehingga Imam Al-Bukhari memberi judul untuk kedua
hadits itu dengan "Bab Orang Yang Dilapangkan Rizkinya dengan
Silaturrahim." Artinya, dengan sebab silaturrahim.
Imam
Ibnu Hibban juga meriwayatkan hadits Anas bin Malik dalam kitab shahihnya
dan beliau memberi judul dengan: "Keterangan Tentang Baiknya Kehidupan dan
Ba-nyaknya Berkah dalam Rizki Bagi Orang Yang Menyam-bung Silaturrahim.
3.
Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, At-Tirmidzi dan
Al-Hakim dari Abu Hurairah , dari Nabi beliau bersabda:
"Belajarlah
tentang nasab-nasab kalian sehingga kalian bisa menyambung silaturrahim. Karena
sesungguhnya silaturrahim adalah (sebab adanya) kecintaan terhadap keluarga
(kerabat dekat), (sebab) banyaknya harta dan bertambahnya usia."
Dalam
hadits yang mulia Ini Nabi menjelaskan bahwa silaturrahim ini membuahkan
tiga hal, di antaranya adalah ia menjadi sebab banyaknya harta.
4.
Dalil lain adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abdullah bin Ahmad,
Al-Bazzar dan Ath-Thabrani dari Ali bin Abi Thalib dari Nabi , beliau
bersabda:
"Barangsiapa
senang untuk dipanjangkan umurnya dan diluaskan rizkinya serta dihindarkan dari
kematian yang buruk maka hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahim."
Dalam
hadits yang mulia ini, Nabi yang jujur dan terpercaya, menjelaskan tiga
manfaat yang terealisir bagi orang yang memiliki dua sifat; bertaqwa kepada
Allah dan menyambung silaturrahim. Dan salah satu dari tiga manfaat itu adalah
keluasan rizki.
5.
Dalil lain adalah riwayat Imam Al-Bukhari dari Abdullah bin Umar ia
berkata:
"Barangsiapa
bertaqwa kepada Tuhannya dan menyam-bung
silaturrahim, niscaya dipanjangkan umurnya dan dibanyakkan rizkinya dan
dicintai oleh keluarganya."
6.
Demikian besarnya pengaruh silaturrahim dalam ber-kembangnya harta benda dan
menjauhkan kemiskinan, sam-pai-sampai ahli maksiat pun, disebabkan oleh
silaturrahim, harta mereka bisa berkembang, semakin banyak jumlahnya dan mereka
jauh dari kefakiran, karena karunia Allah .
Imam
Ibnu Hibban meriwayatkan dari Abu Bakrah dari Nabi bahwasanya
beliau bersabda:
"Sesungguhnya
keta'atan yang paling disegerakan paha-lanya adalah silaturrahim. Bahkan hingga
suatu keluar-ga yang ahli maskiat pun, harta mereka bisa berkembang dan jumlah
mereka bertambah banyak jika mereka saling bersilaturrahim. Dan tidaklah ada
suatu keluarga yang saling bersilaturrahim kemudian mereka membutuhkan
(kekurangan)."
C.
APA SAJA SARANA UNTUK SILATURRAHIM?
Sebagian
orang menyempitkan makna silaturrahim hanya dalam masalah harta. Pembatasan ini
tidaklah benar. Sebab yang dimaksud silaturrahim lebih luas dari itu.
Silaturrahim adalah usaha untuk memberikan kebaikan kepada kerabat dekat serta
(upaya) untuk menolak keburukan dari mereka, baik dengan harta atau dengan
lainnya.
Imam
Ibnu Abu Jamrah berkata: "Silaturrahim itu bisa dengan harta, dengan
memberikan kebutuhan mereka, de-ngan menolak keburukan dari mereka, dengan
wajah yang berseri-seri serta dengan do'a."
Makna
silaturrahim yang lengkap adalah memberikan apa saja yang mungkin diberikan
dari segala bentuk kebaik-an, serta menolak apa saja yang mungkin bisa ditolak
dari keburukan sesuai dengan kemampuannya (kepada kerabat dekat).
D.
Tata Cara Silaturrahim dengan Para Ahli Maksiat
Sebagian
orang salah dalam memahami tata cara silatur-rahim dengan para ahli maksiat.
Mereka mengira bahwa bersilaturrahim dengan mereka berarti juga mencintai dan
menyayangi mereka, bersama-sama duduk dalam satu maje-lis dengan mereka, makan
bersama-sama mereka serta bersi-kap lembut dengan mereka. Ini adalah tidak
benar.
Semua
memaklumi bahwa Islam tidak melarang berbuat baik kepada kerabat dekat yang
suka berbuat maksiat, bah-kan hingga kepada orang-orang kafir. Allah berfirman:
"Allah
tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan ber-laku adil terhadap orang-orang
yang tiada memerangi-mu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari
negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil." (Al-Mumtahanah: 8).
Demikian
pula sebagaimana disebutkan dalam hadits Asma' binti Abu Bakar c yang
menanyakan Rasullah untuk bersilaturrahmi kepada ibunya yang musyrik.
Dalam hadits ini diantaranya disebutkan:
"Aku
bertanya, 'Sesungguhnya ibuku datang dan ia sangat berharap, apakah aku harus
menyambung (silaturrahim) dengan ibuku?' Beliau menjawab, 'Ya, sambunglah
(silaturrahim) dengan ibumu'."
Tetapi,
itu bukan berarti harus saling mencintai dan me-nyayangi, duduk-duduk satu
majelis dengan mereka. Bersa-ma-sama makan dengan mereka serta bersikap lembut
de-ngan orang-orang kafir dan ahli maksiat tersebut. Allah ber-firman:
"Kamu
tidak akan mendapati sesuatu kaum yang ber-iman kepada Allah dan hari Akhirat,
saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya,
sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-sudara atau
pun keluarga me-reka." (Al-Mujadilah:
22).
Makna
ayat yang mulia ini –sebagaimana disebutkan oleh Imam Ar-Razi– adalah
bahwasanya tidak akan bertemu antara iman dengan kecintaan kepada musuh-musuh
Allah. Karena jika seseorang mencintai orang lain maka tidak mungkin ia akan
mencintai musuh orang tersebut.
Dan
berdasarkan ayat ini, Imam Malik menyatakan bolehnya memusuhi kelompok
Qadariyah dan tidak duduk satu majelis dengan mereka.
Imam
Al-Qurthubi mengomentari dasar hukum Imam Malik: "Saya berkata, 'Termasuk
dalam makna kelompok Qadariyah adalah semua orang yang zhalim dan yang suka
memusuhi'."
Al-Hafizh
Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat yang mulia tersebut berkata: "Artinya,
mereka tidak saling men-cintai dengan orang yang suka menentang (Allah dan
Rasul-Nya), bahkan meskipun mereka termasuk kerabat dekat."
Sebaliknya,
silaturrahim dengan mereka adalah dalam upaya untuk menghalangi mereka agar
tidak mendekat kepada Neraka dan menjauhi dari Surga. Tetapi, bila kondisi
mengisyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan tersebut ada-lah dengan cara
memutuskan hubungan dengan mereka, maka pemutusan hubungan tersebut –dalam
kondisi demi-kian– dapat dikategorikan sebagai silaturrahim.
Dalam
hal ini, Imam Ibnu Abu Jamrah berkata: "Jika mereka itu orang-orang kafir
atau suka berbuat dosa maka memutuskan hubungan dengan mereka karena Allah
adalah (bentuk) silaturrahim dengan mereka. Tapi dengan syarat telah ada usaha
untuk menasehati dan memberitahu mereka, dan mereka masih terus membandel.
Kemudian, hal itu (pe-mutusan silaturrahim) dilakukan karena mereka tidak mau
menerima kebenaran. Meskipun demikian, mereka masih te-tap berkewajiban
mendo'akan mereka tanpa sepengetahuan mereka agar mereka kembali ke jalan yang
lurus.
BERINFAK DI JALAN ALLAH
A.
Yang Dimaksud Berinfak
Di
tengah-tengah menafsirkan firman Allah:
"Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan, niscaya Dia akan menggantinya". (Saba': 39).
Syaikh
Ibnu Asyur berkata: "Yang dimaksud dengan infak di sini adalah infak yang
dianjurkan dalam agama. Seperti berinfak kepada orang-orang fakir dan berinfak
di jalan Allah untuk menolong agama."
B.
Dalil Syar'i Bahwa Berinfak di Jalan Allah Adalah Termasuk Kunci Rizki
Ada
beberapa nash dalam Al-Qur'anul Karim dan Al-Hadits Asy-Syarif yang menunjukkan
bahwa orang yang berinfak di jalan Allah akan diganti oleh Allah di dunia. Di
samping, tentunya apa yang disediakan oleh Allah baginya dari pahala yang besar
di akhirat. Di antara dalil-dalil itu adalah sebagai berikut:
1.
Firman Allah:
"Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya dan Dialah
Pemberi rizki yang se-baik-baiknya." (Saba': 39).
Dalam
menafsirkan ayat di atas, Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata: "Betapapun
sedikit apa yang kamu infakkan dari apa yang diperintahkan Allah kepadamu dan
apa yang diper-bolehkanNya, niscaya Dia akan menggantinya untukmu di dunia, dan
di akhirat engkau akan diberi pahala dan gan-jaran, sebagaimana yang disebutkan
dalam hadits…"
Imam
Ar-Razi berkata, "Firman Allah: 'Dan barang apa saja yang kamu
nafkahkan maka Allah akan menggantinya', adalah realisasi dari sabda Nabi :
"Tidaklah para hamba berada di pagi hari…." (Al-Hadits).
Yang demikian itu karena Allah adalah Penguasa, Maha Tinggi dan Maha Kaya. Maka
jika Dia berkata: "Nafkahkanlah dan Aku yang akan menggantinya,' maka itu
sama dengan janji yang pasti ia tepati. Sebagaimana jika Dia berkata:
"Lemparkanlah barangmu ke dalam laut dan Aku yang menjaminnya."
Maka,
barangsiapa berinfak berarti dia telah memenuhi syarat untuk mendapatkan ganti.
Sebaliknya, siapa yang ti-dak berinfak maka hartanya akan lenyap dan ia tidak
berhak mendapatkan ganti. Hartanya akan hilang tanpa ganti, arti-nya lenyap
begitu saja.
Yang
mengherankan, jika seseorang pedagang mengeta-hui bahwa sebagian dari hartanya
akan binasa, ia akan menjualnya dengan cara nasi'ah (pembayaran di
belakang), meskipun pembelinya termasuk orang miskin. Lalu ia ber-kata, hal itu
lebih baik daripada pelan-pelan harta itu binasa. Jika ia tidak menjualnya
sampai harta itu binasa maka ia akan disalahkan. Dan jika ada orang mampu yang
menjamin orang miskin itu, tetapi ia tidak menjualnya (kepada orang tersebut)
maka ia disebut orang gila.
Dan
sungguh, hampir setiap orang melakukan hal ini, tetapi masing-masing tidak
menyadari bahwa hal itu mendekati gila. Sesungguhnya harta kita semuanya pasti
akan binasa. Dan menafkahkan kepada keluarga dan anak-anak adalah berarti
memberi pinjaman. Semuanya itu berada dalam jaminan kuat, yaitu Allah Yang Maha
Tinggi. Allah berfirman: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka
Dia pasti manggantinya."
Lalu
Allah memberi pinjaman kepada setiap orang, ada yang berupa tanah, kebun,
penggilingan, tempat pemandian untuk berobat atau manfaat tertentu. Sebab
setiap orang tentu memiliki pekerjaan atau tempat yang daripadanya ia
mendapatkan harta. Dan semua itu milik Allah. Di tangan manusia, harta itu
adalah pinjaman. Jadi, seakan-akan ba-rang-barang tersebut adalah jaminan yang
diberikan Allah dari rizkiNya, agar orang tersebut percaya penuh kepadaNya
bahwa bila dia berinfak, Allah pasti akan menggantinya. Tetapi meskipun
demikian, ternyata ia tidak mau berinfak dan membiarkan hartanya lenyap begitu
saja tanpa mendapat pahala dan disyukuri.
Selain
itu, Allah menegaskan janjiNya dalam ayat ini kepada orang yang berinfak untuk
menggantinya dengan rizki (lain) melalui tiga penegasan. Dalam hal ini, Ibnu
Asyur berkata: "Allah menegaskan janji tersebut dengan kalimat bersyarat,
dan dengan menjadikan jawaban dari kali-mat bersyarat itu dalam bentuk jumlah
ismiyah dan dengan mendahulukan musnad ilaiah (sandaran) terhadap khabar
fi'il-nya ( ÇáúÎóÈóÑ ÇáúÝöÚúáöíøó) yaitu dalam firmanNya: Ýóåõæó
íõÎúáöÝõåõ De-ngan demikian, janji tersebut ditegaskan dengan tiga pene-gasan
yang menunjukkan bahwa Allah benar-benar akan merealisasikan janji itu.
Sekaligus menunjukkan bahwa ber-infak adalah sesuatu yang dicintai Allah.
Dan
sungguh janji Allah adalah sesuatu yang tegas, ya-kin, pasti dan tidak ada
keraguan untuk diwujudkannya, wa-laupun tanpa adanya penegasan seperti di atas.
Lalu, bagai-mana halnya jika janji itu ditegaskan dengan tiga penegasan?
2.
Dalil lain adalah firman Allah:
"Setan
menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan ke-miskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan
(kikir); sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan
Allah Maha Luas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 268).
Menafsirkan
ayat mulia ini, Ibnu Abbas berkata: "Dua hal dari Allah, dan dua hal
dari setan. "Setan men-janjikan (menakut-nakuti) kamu dengan
kemiskinan." Setan itu berkata, 'Jangan kamu infakkan hartamu,
peganglah untukmu sendiri karena kamu membutuhkannya'. "Dan menyuruh
kamu berbuat kejahatan (kikir)."
(Dan
dua hal dari Allah adalah), "Allah menjanjikan un-tukmu ampunan
daripadaNya," yakni atas maksiat yang kamu kerjakan, "dan
karunia" berupa rizki.
Al-Qadhi
Ibnu Athiyah menafsirkan ayat ini berkata: "Maghfirah (ampunan
Allah) adalah janji Allah bahwa Dia akan menutupi kesalahan segenap hambaNya di
dunia dan di akhirat. Sedangkan al-fadhl (karunia) adalah rizki yang
luas di dunia, serta pemberian nikmat di akhirat, dengan segala apa yang telah
dijanjikan Allah .
Imam
Ibnu Qayim Al-Jauziyah dalam menafsirkan ayat yang mulia ini berkata:
"Demikianlah, peringatan setan bah-wa orang yang menginfakkan hartanya,
bisa mengalami ke-fakiran bukanlah suatu bentuk kasih sayang setan kepa-danya,
juga bukan suatu bentuk nasihat baik untuknya. Ada-pun Allah, maka Ia
menjanjikan kepada hambaNya ampunan dosa-dosa daripadaNya, serta karunia berupa
penggantian yang lebih baik daripada yang ia infakkan, dan ia
dilipatgan-dakanNya baik di dunia saja atau di dunia dan di akhirat."
3.
Dalil lain adalah hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah , Nabi
memberitahukan kepadanya:
"Allah
Tabaraka wa Ta'ala berfirman, 'Wahai anak Adam, berinfaklah, niscaya Aku
berinfak (memberi rizki) kepadaMu."
Allahu
Akbar! Betapa besar jaminan orang
yang berinfak di jalan Allah! Betapa mudah dan gampang jalan mendapatkan rizki!
Seorang hamba berinfak di jalan Allah, lalu Dzat Yang di TanganNya kepemilikan
segala sesuatu memberi-kan infak (rizki) kepadanya. Jika seorang hamba berinfak
sesuai dengan kemampuannya maka Dzat Yang memiliki perbendaharaan langit dan
bumi serta kerajaan segala se-suatu akan memberi infak (rizki) kepadanya sesuai
dengan keagungan, kemuliaan dan kekuasaanNya.
Imam
An-Nawawi berkata: "Firman Allah, 'Berinfaklah, niscaya Aku berinfak
(memberi rizki) kepadamu' adalah makna dari firman Allah dalam Al-Qur'an:
"Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya." (Saba': 39).
Ayat
ini mengandung anjuran untuk berinfak dalam ber-bagai bentuk kebaikan, serta
berita gembira bahwa semua itu akan diganti atas karunia Allah .
4.
Dalil lain bahwa berinfak di jalan Allah adalah di antara kunci-kunci rizki
yaitu apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari dari Abu Hurairah
bahwasanya Nabi bersabda:
"Tidaklah
para hamba berada di pagi hari kecuali di dalamnya terdapat dua malaikat yang
turun. Salah satunya berdo'a, 'Ya Allah, berikanlah kepada orang yang berinfak
ganti (dari apa yang ia infakkan)'. Sedang yang lain berkata, 'Ya Allah,
berikanlah kepada orang yang menahan (hartanya) kebinasaan (hartanya)'."
Dalam
hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia menga-barkan bahwa terdapat
malaikat yang berdo'a setiap hari kepada orang yang berinfak agar diberikan
ganti oleh Allah. Maksudnya –sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Mulla Ali
Al-Qari– adalah ganti yang besar. Yakni ganti yang baik, atau ganti di dunia dan
ganti di akhirat. Hal itu berdasarkan firman Allah:
"Dan
barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Dia-lah yang akan menggantinya. Dan
Dialah sebaik-baik Pemberi rizki." (Saba':
39).
Dan
diketahui secara umum bahwa do'a malaikat adalah dikabulkan, sebab tidaklah
mereka mendo'akan bagi sese-orang melainkan dengan izinNya. Allah berfirman:
"Dan
mereka tiada memberi syafa'at melainkan kepada orang yang diridhai Allah, dan
mereka itu selalu berhati-hati karena takut kepadaNya." (Al-Anbiya': 28).
5.
Dalil lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Al-Baihaqi dari Abu
Hurairah bahwasanya Nabi bersabda:
"Berinfaklah
wahai Bilal! Jangan takut dipersedikit (hartamu) oleh Dzat Yang Memiliki
Arsy."
Aduhai,
alangkah kuat jaminan dan karunia Allah bagi orang yang berinfak di jalanNya!
Apakah Dzat Yang Memiliki Arsy akan menghinakan orang yang berinfak di
jalan-Nya, sehingga ia mati karena miskin dan tak punya apa-apa? Demi Allah,
tidak akan demikian!
Al-Mulla
Ali-AlQari menjelaskan kata " ÇöÞúáÇó áÇð " dalam hadits
tersebut berkata, "Maksudnya, dijadikan miskin dan tidak punya
apa-apa". Artinya, "Apakah engkau takut akan disia-siakan oleh Dzat
Yang Mengatur segala urusan dari langit ke bumi?" Dengan kata lain,
"Apakah kamu takut untuk digagalkan cita-citamu dan disedikitkan rizkimu
oleh Dzat Yang rahmatNya meliputi penduduk langit dan bumi, orang-orang mukmin
dan orang-orang kafir, burung-burung dan binatang melata?"
6.
Berapa banyak bukti-bukti dalam kitab-kitab Sunnah (Hadits), Sirah
(Perjalanan Hidup), Tarajum (Biografi), Tarikh (Sejarah), bahkan
hingga dalam kenyataan-kenyataan yang kita alami saat ini yang menunjukkan
bahwa Allah mengganti rizki hambaNya yang berinfak di jalanNya.
Berikut
ini kami ringkaskan satu bukti dalam masalah ini. Imam Muslim meriwayatkan dari
Abu Hurairah dari Nabi beliau bersabda:
"Ketika
seorang laki-laki berada di suatu tanah lapang bumi ini, tiba-tiba ia mendengar
suara dari awan, 'Sira-milah kebun si fulan!' Maka awan itu berarak menjauh dan
menuangkan airnya di areal tanah yang penuh de-ngan batu-batu hitam. Di sana
ada aliran air yang me-nampung air tersebut. Lalu orang itu mengikuti kemana
air itu mengalir. Tiba-tiba ia (melihat) seorang laki-laki yang berdiri di
kebunnya. Ia mendorong air tersebut
dengan skopnya (ke dalam kebunnya). Kemudian ia bertanya, 'Wahai hamba Allah!
Siapa namamu?' Ia menjawab, 'Fulan', yakni nama yang didengar di awan. Ia balik
bertanya, "Wahai hamba Allah, kenapa engkau menanyakan namaku?' Ia
menjawab, 'Sesungguhnya aku mendengar suara di awan yang menurunkan air ini.
Suara itu berkata, 'Siramilah kebun si fulan! Dan itu adalah namamu. Apa
sesungguhnya yang engkau laku-kan?' Ia menjawab, "Jika itu yang engkau
tanyakan, maka sesungguhnya aku memperhitungkan hasil yang didapat dari kebun
ini, lalu aku bersedekah dengan se-pertiganya, dan aku makan beserta keluargaku
seper-tiganya lagi, kemudian aku kembalikan (untuk menanam lagi)
sepertiganya'."
Dalam
riwayat lain disebutkan:
"Dan
aku jadikan sepertiganya untuk orang-orang miskin dan peminta-minta serta ibnu
sabil (orang yang dalam perjalanan)."
Imam
An-Nawawi berkata: "Hadits itu menjelaskan ten-tang keutamaan bersedekah
dan berbuat baik kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam
perjalanan. Juga keutamaan seseorang yang makan dari hasil kerjanya sen-diri,
termasuk keutamaan memberi nafkah kepada keluar-ga."
MEMBERI NAFKAH KEPADA ORANG YANG
SEPENUHNYA MENUNTUT ILMU SYARI'AT (AGAMA)
Termasuk
kunci-kunci rizki adalah memberi nafkah ke-pada orang yang sepenuhnya menuntut
ilmu syari'at (agama). Dalil yang menunjukkan hal ini adalah hadits riwayat
At-Tirmidzi dan Al-Hakim dari Anas bin Malik bahwasanya ia berkata:
"Dahulu
ada dua orang saudara pada masa Rasulullah . Salah seorang daripadanya
mendatangi Nabi dan (saudaranya) yang lain bekerja. Lalu saudaranya yang
bekerja itu mengadu kepada Nabi maka beliau bersabda: Mudah-mudahan
engkau diberi rizki dengan sebab dia."
Dalam
hadits yang mulia ini, Nabi yang mulia menje-laskan kepada orang yang
mengadu kepadanya karena kesi-bukan saudaranya dalam menuntut ilmu agama,
sehingga membiarkannya sendirian mencari penghidupan (bekerja), bahwa ia tidak
semestinya mengungkit-ungkit nafkahnya ke-pada saudaranya, dengan anggapan
bahwa rizki itu datang karena dia bekerja. Padahal ia tidak tahu bahwasanya
Allah membukakan pintu rizki untuknya karena sebab nafkah yang ia berikan
kepada suadaranya yang menuntut ilmu agama secara sepenuhnya.
Al-Mulla
Ali Al-Qari menjelaskan sabda Nabi :
"Mudah-mudahan
engkau diberi rizki dengan sebab dia," yang
menggunakan shighat majhul (ungkapan kata kerja pasif) itu berkata,
'Yakni, aku berharap atau aku ta-kutkan bahwa engkau sebenarnya diberi rizki
karena berkah-nya. Dan bukan berarti di diberi rizki karena pekerjaanmu. Oleh
sebab itu jangan engkau mengungkit-ungkit pekerjaan-mu kepadanya."
Al-Alamah
Ath-Thaibi berkata: "Makna 'áóÚóáøó' (mudah-mudahan) dalam sabda
beliau 'áóÚóáøóßó' (mudah-mudahan engkau), bisa kembali kepada
Rasulullah , sehingga ber-fungsi untuk memberikan kepastian (bahwa dia
mendapat-kan rizki karena berkah saudaranya) dan menegur (bahwa dia mendapatkan
rizki bukan karena pekerjaannya). Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:
"Bukanlah
kalian diberi rizki karena sebab orang-orang lemah di antara kalian?" Tetapi bisa pula kembali kepada orang yang diajaknya
bicara untuk mengajakanya berfikir dan merenungkan, sehingga ia menjadi
sadar."
Demikianlah,
dan sebagian ulama telah menyebutkan bahwa orang-orang yang mempelajari ilmu
agama secara sepenuhnya adalah termasuk kelompok orang yang dising-gung dalam
firman Allah:
"(Berinfaklah)
kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah, mereka tidak
dapat (beru-saha) di muka bumi, orang yang tidak tahu menyangka mereka orang
kaya karena memelihara diri dari me-minta-minta. Kamu kenal mereka dengan
melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan
apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 273).
Imam
Al-Ghazali berkata: "Ia harus mencari orang yang tepat untuk mendapatkan
sedekahnya. Misalnya para ahli ilmu. Sebab hal itu merupakan bantuan baginya
untuk (mempelajari) ilmunya. Ilmu adalah jenis ibadah yang paling mulia, jika
niatnya benar. Ibnu Al-Mubarak senantiasa mengkhususkan kebaikan (pemberiannya)
bagi para ahli ilmu. Ketika dikatakan kepada beliau, "Mengapa tidak
eng-kau berikan pada orang secara umum?" Beliau menjawab,
"Sesungguhnya aku tidak mengetahui suatu kedudukan setelah kenabian yang
lebih utama daripada kedudukan para ulama. Jika hati para ulama itu sibuk
mencari kebutuhan (hidupnya), niscaya ia tidak bisa memberi perhatian
sepe-nuhnya kepada ilmu, serta tidak akan bisa belajar (dengan baik). Karena
itu, membuat mereka bisa mempelajari ilmu secara sepenuhnya adalah lebih
utama."
BERBUAT BAIK KEPADA ORANG-ORANG LEMAH
Termasuk
di antara kunci-kunci rizki adalah berbuat baik kepada orang-orang miskin.
Nabi menjelaskan bahwa para hamba itu ditolong dan diberi rizki
disebabkan oleh orang-orang yang lemah di antara mereka.
Imam
Al-Bukhari meriwayatkan dari Mush'ab bin Sa-'dan ia berkata, 'Bahwasanya
Sa'dan merasa dirinya memiliki kelebihan daripada orang lain. Maka
Rasulullah bersabda:
"Bukankah
kalian ditolong dan diberi rizki lantaran orang-orang lemah di antara
kalian?"
Karena
itu, siapa yang ingin ditolong Allah dan diberi rizki olehNya maka hendaknya ia
memuliakan orang-orang lemah dan berbuat baik kepada mereka."
Nabi
yang mulia, juga menjelaskan bahwa keridhaan-nya dapat diperoleh
dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin.
Imam
Ahmad, Abu Daud, At-Tirmidzi, An-Nasa'i, Ibnu Hibban dan Al-Hakim meriwayatkan
dari Abu Darda' bahwasanya ia berkata, aku mendengar Rasulullah
bersabda:
"Carilah
(keridhaan)ku melalui orang-orang lemah di antara kalian. Karena sesungguhnya
kalian diberi rizki dan ditolong dengan sebab orang-orang lemah di antara
kalian."
Menjelaskan
sabda Nabi di atas Al-Mulla Ali Al-Qari berkata, "Carilah
keridhaanku dengan berbuat baik kepada orang-orang miskin di antara
kalian."
Dan
barangsiapa berusaha mendapatkan keridhaan keka-sih Yang Maha Memberi rizki dan
Maha Memiliki kekuatan dan keperkasaan, Muhammad dengan berbuat kepada
orang-orang miskin, niscaya Tuhannya akan menolongnya dari para musuh serta
akan memberinya rizki.
HIJRAH DI JALAN ALLAH
A.
MAKNA HIJRAH DI JALAN ALLAH
ÇáúãõåóÇ
ÌóÑóÉó (hijrah) sebagaimana dikatakan
oleh Imam Ar-Raghib Al-Ashfahani adalah keluar dari negeri kafir kepada negeri
iman, sebagaimana para sahabat yang berhijrah dari Makkah ke Madinah.
Dan
hijrah di jalan Allah itu, sebagaimana dikatakan oleh Sayid Muhammad Rasyid
Ridha harus dengan sebenar-benarnya. Artinya, maksud orang yang berhijrah dari
negeri-nya itu adalah untuk mendapatkan ridha Allah dengan mene-gakkan agamaNya
yang ia merupakan kewajiban baginya, dan merupakan sesuatu yang dicintai Allah,
juga untuk me-nolong saudara-saudaranya yang beriman dari permusuhan
orang-orang kafir.
B.
Dalil Syar'i Bahwa Hijrah di Jalan Allah Termasuk Kunci Rizki
Di
antara dalil yang menunjukkan bahwa berhijrah di jalan Allah termasuk kunci
rizki adalah firman Allah: Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya
mereka mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rizki yang
banyak." (An-Nisa': 100).
Dalam
ayat yang mulia ini, Allah menjanjikan bahwa orang yang berhijrah di jalan
Allah akan mendapati dua hal: Pertama, ãõÑóÇÛóãðÇ ßóËöíúÑðÇ kedua,
ÓóÚóÉð.
Yang
dimaksud ãõÑóÇÛóãðÇ sebagaimana dikatakan oleh Imam Ar-Razi adalah,
barangsiapa berhijrah di jalan Allah ke negeri lain, niscaya akan mendapati di
negerinya yang baru itu kebaikan dan kenikmatan yang menjadi sebab kehinaan dan
kekecewaan para musuhnya yang berada di negeri asal-nya. Sebab orang yang
memisahkan diri dan pergi ke negeri asing, sehingga mendapatkan ketentraman di
sana, lalu berita itu sampai kepada negeri asalnya, niscaya penduduk asli
negeri itu akan malu atas buruknya mua'amalah (perlakuan) yang mereka
berikan, sehingga dengan demikian mereka merasa hina.'
Sedang
yang dimaksud, ÓóÚóÉð (keluasan), yaitu keluasan rizki. Inilah yang
dikatakan oleh Abdullah bin Abbas dalam menafsirkan ayat ini. Juga
dikatakan oleh Ar-Rabi', Adh-Dhakkak, Atha' dan mayoritas ulama.
Qatadah
berkata: "Maknanya, keluasan dari kesesatan kepada petunjuk dan dari
kemiskinan kepada banyaknya kekayaan." Imam Malik berkata: "Keluasan
yang dimaksud adalah keluasan negeri."
Mengomentari
ketiga pendapat di atas, Imam Al-Qurthubi mengatakan: "Pendapat Imam Malik
lebih dekat pada kefasihan ungkapan bahasa Arab. Sebab keluasan ne-geri dan
banyaknya bangunan menunjukkan keluasan rizki. Juga menunjukkan kelapangan dada
yang siap menanggung kesedihan dan pikiran serta hal-hal lain yang menunjukkan
kemudahan."
Pendapat
mana saja yang kita ambil dari ketiga pendapat di atas, yang jelas semuanya
menunjukkan bahwa orang yang berhijrah di jalan Allah akan mendapatkan janji
dari Allah berupa keluasan rizki, baik dengan ungkapan langsung maupun secara
tidak langsung.
Dan
sungguh janji Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Menentukan adalah suatu janji
yang haq serta tidak pernah luput. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya
daripada Allah?
Sungguh
dunia telah dan sampai sekarang masih menyak-sikan kebenaran janji ini. Dan
saya kira, orang yang menge-tahui sedikit tentang sejarah Islam pun sudah tahu
akan peristiwa hijrahnya para sahabat Rasulullah ke Madinah.
Ketika
para sahabat meninggalkan rumah-rumah, harta benda dan kekayaan mereka untuk
hijrah di jalan Allah , Allah serta merta mengganti semuanya. Allah memberikan
kepada mereka kunci-kunci negeri Syam, Persia dan Yaman. Allah berikan kepada
mereka kekuasaan atas istana-istana negeri Syam yang merah, juga istana Mada'in
yang putih. Kepada mereka juga dibukakan pintu-pintu Shan'a, serta ditundukkan
untuk mereka berbagai simpanan kekayaan Kaisar dan Kisra.
Imam
Ar-Razi menjelaskan kesimpulan tafsir ayat yang mulia ini berkata:
"Walhasil, seakan-akan dikatakan, 'Wahai manusia! Jika kamu membenci
hijrah dari tanah airmu hanya karena takut mendapatkan kesusahan dan ujian
dalam per-jalananmu, maka sekali-kali jangan takut! Karena sesung-guhnya
Allah akan memberimu berbagai nikmat yang agung dan pahala yang besar dalam
hijrahmu. Hal yang ke-mudian menyebabkan kehinaan musuh-musuhmu dan men-jadi
sebab bagi kelapangan hidupmu."
Komentar