Langsung ke konten utama

BENTUK – BENTUK LAYANAN BAGI ANAK BERKELAINAN FISIK DAN ANAK BERKELAINAN MENTAL EMOSIONAL

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Pendidikan merupakan kebutuhan dasar setiap manusia untuk menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat. Sistem pendidikan di Indonesia belum mengakomodasi keberagaman, sehingga menyebabkan munculnya segmentasi lembaga pendidikan yang berdasar pada perbedaan agama,etnis, dan bahkan perbedaan kemampuan baik dimiliki oleh siswa. Selain itu, lembaga pendidikan tidak hanya sebagai wahana untuk sistem bekal ilmu pengetahuan, namun juga sebagai lembaga yang dapat memberi skiil atau bekal untuk hidup yang nanti diharapkan dapat bermanfaat di dalam masyarakat.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya, tanpa menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Karena, karakteristik dan hambatan yang dimiliki anak berkebutuhan hidup memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi yang dimiliki masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing.
Secara umum, ada dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2)  pendekatan individual.  Jadi, diperlukan sekolah yang dapat memberikan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus agar dapat bermanfaat bagi masyarakat.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimanakah pendekatan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus?
2.      Bagaimanakah layanan pendidikan anak berkelainan fisik sesuai dengan ketunaan / kekurangan?
3.      Bagaimanakah layanan pendidikan anak berkelainan mental emosional sesuai dengan ketunaan / kekurangan?



C.     Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah masalah diatas dapat diambil tujuan sebagai berikut:
1.      Mengetahui pendekatan layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus
2.      Mengetahui layanan pendidikan anak berkelainan fisik sesuai dengan ketunaan / kekurangan
3.      Mengetahui layanan pendidikan anak berkelainan mental emosional sesuai dengan ketunaan / kekurangan



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pendekatan Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus
Secara umum, ada dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2)  pendekatan individual.
Pendekatan kelompok, memilki kelebihan dalam hal pelaksanaan dari segi waktu, tenaga, dan biaya. Sedang kelemahananya berkenanaan dengan efektifitas pembelajaran, yang sudah kurang efektif untuk anak – anak berkebutuhan khusus dalam pencapaian tujuan kompetensinya.
Pendekatan individual, pencapaian kompetensi yang diharapkan akan lebih baik dan lebih efektif, sesuai dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anak. Selain itu, guru juga akan mudah memantau perkembangan dan kemajuan yang telah dicapai, serta memberikan bantuan yang dibutuhkan.
Selain pendekatan individu dan pendekatan kelompok, bagi anak berkebutuhan ada pendekatan lain yang berorientasi ke pencapaian hasil belajar anak, yaitu pendekatan remidial dan pendekatan akseleratif.
Pendekatan remidial bertujuan untuk membantu anak berkebutuhan khusus dalam upaya mencapai kompetensi yang ditentukan dengan lebih menekankan pada hambatan atau kekurangan yang ada pada anak berkebutuhan khusus. Sedangkan pendekatan akseleratif bertujuan untuk mendorong anak berkebutuhan khusus, utamanya anak berbakat untuk lebih lanjut menguasai kompetensi yang ditetapkan berdasar assesmen kemampuan anak.
B.     Pendekatan Layanan Anak Berkelainan Fisik
Anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan fisik, meliputi : anak tunanetra, anak tunarungu, dan anak tunadaksa membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan strategi khusus, yang secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.      Anak Tunanetra
Strategi khusus dan isi layanan pendidikan bagi anak tunanetra menurut Hardman, M.L. dkk (1990) paling tidak meliputi 3 hal, yaitu (a) mobility training and daily living skill, yaitu latihan untuk berjalan dan orientasi tempat dan ruang dengan berbagai sarana yang diperlukan serta latihan keterampilan kehidupan keseharian yang berkaitan dengan pemahaman uang, belanja, mencuci, memasak, kebersihan diri, dan membersihkan ruangan; (b) tradisional curriculum content area, yaitu orientasi dan mobilitas, keterampilan berbahasa termasuk ekspresinya, keterampilan berhitung. dan (c) communication media, yaitu penguasaan braille dalam komunikasi.
Annastasia Widjajanti dan Imanuel Hitipeuw, (1995) menyatakan bahwa layanan khusus bagi anak tunanetra meliputi:
1)      Penguasaan braille.
Penguasaan braille yang dimaksud adalah kemampuan untuk menulis dan membaca braille.
2)      Latihan orientasi dan mobilitas
Latihan orientasi dan mobilitas adalah jalan dengan pendamping awas, latihan jalan mandiri, latihan jalan dengan menggunakan alat bantu jalan (tongkat dan sign guide).
3)      Penggunaan alat bantu dalam pembelajaran berhitung dan matematika.
Meliputi cubaritma, papan taylor frame, abacus (sempoa) dalam operasi penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, dan beberapa komsep matematikan braille.
4)      Pembelajaran pendidikan jasmani bagi anak tunanetra.
2.      Anak Tunarungu
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tuna rungu adalah terletak pada pengembangan persepsi bunyi dan komunikasi. Hallahan dan Kauffman, (1988) menyatakan bahwa ada tiga pendekatan umum dalam mengajarkan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
a)      Auditory training
b)      Speechreading
c)      Sing language and fingerspelling
Ada beberapa cara dalam mengembangkan kemampuan komunikasi anak tunarungu, yaitu:
1)      Metode oral, yaitu cara melatih anak tunarungu dapat berkomunikasi secara lisan (verbal) dengan lingkungan orang mendengar.
2)      Membaca ujaran.
Membaca ujaran yaitu suatu kegiatan yang mencakup pengamatan visual dari bentuk dan gerak bibir lawan bicara sewaktu dalam proses bicara. Membaca ujaran mencakup pengertian atau pemberian makna pada apa yang diucapkan lawan bicara di mana ekspresi muka dan pengetahuan bahasa turut berperan. Ada beberapa kelemahan dalam menerapkan membaca ujaran, yaitu (1) tidak semua bunyi bahasa dapat terlihat pada bibir, (2) ada persamaan antara berbagai bentuk bunyi bahasa, misalnya bahasa bilabial (p,b,m), dental (t,d,n) akan terlihat mempunyai bentuk yang sama pada bibir, (3) lawan bicara harus berhadapan dan tidak terlalu jauh, (4) pengucapan harus pelan dan lugas.
3)      Metode manual.
Metode manual yaitu cara mengajar atau melatih anak tunarungu berkomunikasi dengan isyarat atau ejaan jari. Bahasa isyarat mempunyai beberapa komponen, yaitu (1) ungkapan badaniah; (2) bahasa isyarat lokal; dan (3) bahasa isyarat formal.
4)      Ejaan jari.
Ejaan jari adalah penunjang bahasa isyarat dengan menggunakan ejaan jari. Ejaan jari secara garis besar dapat dikelompokan dalam tiga jenis, yaitu (1) ejaan jari dengan satu tangan (onehanded), (2) ejaaan jari dengan kedua tangan (twohanded), dan (3) ejaan jari campuran dengan menggunakan satu tangan atau dua tangan.
5)      Komunikasi total.
Komunikasi total merupakan upaya perbaikan dalam mengajarkan komunikasi bagi anak tunarungu. Komunikasi total merupakan cara berkomunikasi dengan menggunakan salah satu modus atau semua cara komunikasi yaitu penggunaan sistem isyarat, ejaan jari, bicara, baca ujaran, amplifikasi, gesti, pantomimik, menggambar dan menulis serta pemanfaatan sisa pendengaran sesuai kebutuhan dan kemampuan seseorang.
3.      Anak Tunadaksa
Layanan pendidikan yang spesifik bagi anak tunadaksa adalah pada bina gerak. Untuk memberikan layanan bina gerak yang tepat diperlukan dukungan terapi, khususnya fisioterapi untuk memulihkan kondisi otot dan tulang anak agar tidak semakin menurun kemampuannnya. Selain itu dukungan untuk bina diri diperlukan terapi okupasi dan bermain. Menurut Frieda Mangunsong, dkk (1998) layanan pendidikan bagi anak tunadaksa perlu memperhatikan tiga hal, yaitu :
a)      Pendekatan multidisipliner dalam program rehabilitasi anak tunadaksa.
b)      Program pendidikan sekolah.
c)      Layanan bimbingan dan konseling
Dalam program rehabilitasi dikenal empat stadium, yaitu pertama, stadium akut antara 0 – 6 sejak menderita. Pada stadium ini merupakan stadium “survival”, berjuang untuk bertahan hidup. Kedua, stadium sub acut: 6 – 12 minggu, merupakan stadium perawatan rutin, pemberian fisioterapi dan terapi okupasi agar perkembangan otot dapat pulih dan tumbuh walaupun minimal. Ketiga, stadium mandiri; pada stadium ini anak lebih diarahkan untuk memperoleh keterampilan kerja untuk kehidupan mendatang. Keempat, stadium “after care”; pada stadium ini anak dipersipkan kembali ke rumah atau ke sekolah untuk mengikuti program pendidikan selanjutnya.
Sunarya Kartadinata, (1998/1999) menyatakan bahwa anak tunadaksa perlu mengembangkan self-respect, yaitu menghargai diri sendiri dengan cara menerima diri sesuai dengan apa adanya, sehingga anak merasa bahwa dirinya adalah sebagai seorang pribadi yang berharga.
C.    Anak Berkelainan Mental Emosional
Layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan mental-emosional meliputi anak tunagrahita dan anak tunalaras
1.      Anak Tunagrahita
Pendekatan layanan pendidikan bagi anak tunagrahita lebih diarahkan pada pendekatan indivudual dan pendekatan remidiatif. Pendekatan individual didasarkan pada asesment kemampuan anak untuk mengembangkan sisa potensi yang ada dalam dirinya. Tujuan utama layanan pendidikan bagi anak tunagrahita adalah penguasaan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari dalam mengelola diri sendiri. Untuk mencapai itu perlu pembelajaran mengurus diri sendiri dan pengembangan keterampilan vocational terbatas sesuai dengan kemampuannnya.
Layanan pendidikan khusus bagi anak tunagrahita meliputi latihan senso motorik, terapi bermain dan okupasi, dan latihan mengurus diri sendiri. Pendekatan pembelajaran dilakukan secara individual dan remidiatif. Perkembangan kemampuan anak berdasarkan tingkat kemampuan kornitifnya. Anak yang ber IQ 55 – 70 berbeda dengan yang ber IQ 35 – 55. dalam sebaran IQ tersebut juga berbeda dalam layanan masing-masing.
Pelayanan pendidikan bagi anak tunagrahita/retadasi mental dapat diberikan pada:
1)      Kelas Transisi
Kelas transisi merupakan kelas persiapan dan pengenalan pengajaran dengan acuan kurikulum SD dengan modifikasi sesuai kebutuhan anak.
2)      Sekolah Khusus (Sekolah Luar Biasa bagian C dan C1/SLB-C, C1).
Layanan pendidikan untuk anak tunagrahita model ini diberikan pada Sekolah Luar Biasa. Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama keampuannya (tunagrahita). Untuk anak tunagrahita ringan dapat bersekolah di SLB-C, sedangkan anak tunagrahita sedang dapat bersekolah di SLB-C1.
Pendidikan terpadu Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler di kelas yang sama dengan bimbingan guru reguler. Untuk matapelajaran tertentu, jika anak mempunyai kesulitan, anak tunagrahita akan mendapat bimbingan/remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber. Biasanya anak yang belajar di sekolah terpadu adalah anak yang tergolong tunagrahita ringan, yang termasuk kedalam kategori borderline yang biasanya mempunyai kesulitan-kesulitan dalam belajar (Learning Difficulties) atau disebut dengan lamban belajar (Slow Learner).
3)      Program sekolah di rumah
Progam ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengkuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Proram dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerjasama antara orangtua, sekolah, dan masyarakat.
4)      Pendidikan inklusif
Sejalan dengan perkembangan layaan pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus, terdapat kecenderungan baru yaitu model Pendidikan Inklusif. Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah reguler. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak reguler, pada kelas dan guru/pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh 2 (dua) orang guru, satu guru reguler dan satu lagu guru khusus. Guna guru khusus untuk memberikan bantuan kepada siswa tunagrahita jika anak tersenut mempunyai kesulitan di dalam kelas. Semua anak diberlakukan dan mempunyai hak serta kewajiban yang sama. Tapi saat ini pelayanan pendidikan inklusif masih dalam tahap rintisan
5)      Panti (Griya) Rehabilitasi
Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat, yang mempunyai kemampuan pada tingkat sangat rendah, dan pada umumnya memiliki kelainan ganda seperti penglihatan, pendengaran, atau motorik. Program di panti lebih terfokus pada perawatan. Pengembangan dalam panti ini terbatas dalam hal :
a)      Pengenalan diri
b)      Sensorimotor dan persepsi
c)      Motorik kasar dan ambulasi (pindah dari satu temapt ke tempat lain)
d)     Kemampuan berbahasa dan dan komunikasi
e)      Bina diri dan kemampuan sosial
2.      Anak Tunalaras
Khusus untuk kelainan perilakunya, pendekatan pendidikan bagi anak tunalaras menggunakan pendekatan bimbingan dan konseling serta terapi. Pendekatan terapi yang sering digunakan untuk layanan pendidikan anak tunalaras menurut Hardman, M.L. dkk (1990) adalah:
a)      Insight-oriented thterapies
b)      Play therapy
c)      Group therapy
d)     Behavior therapy
e)      Marital and Family therapy
f)       Drug therapy
Penggunaan pendekatan terapi sangat bergantung pada jenis dan tingkat problem perilaku yang dimiliki oleh anak tunalaras. Selain pendekatan terapi, dalam pembelajaran khusus untuk anak tunalaras adalah bina pribadi-sosial anak. Mata pelajaran ini diarahkan untuk membina perilaku positif anak tunalaras dalam kaitannya dengan perilaku dirinya dan perilaku dalam berhubungan dengan orang lain.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Secara umum, ada dua pendekatan yang sering dilakukan dalam memberikan layanan pendidikan bagi anak-anak berkebutuhan khusus, yaitu (1) pendekatan kelompok/klasikal, dan (2)  pendekatan individual. Anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan, meliputi : anak tunanetra, anak tunarungu, tunalaras dan anak tunadaksa membutuhkan layanan pendidikan dengan pendekatan dan strategi khusus.

B.     Saran
Sebagai calon pendidik sudah seharusnya kita memberikan pendidikan bagi anak-anak yang membutuhkan pendidikan. Anak-anak berkebutuhan khusus menerima pendidikan oleh guru-guru di sekolah luar biasa dengan guru yang sangat luar biasa. Karena, guru yang mengajar disana pasti memiliki keikhlasan dan kesabaran yang luar biasa.



DAFTAR PUSTAKA
·         Suparno. 2007. Pendidikan Anak Brekebutuhan Khusus : Dinas Pendidikan   Provinsi        Kalimantan Selatan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tantangan Pendidikan Multikultural

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Praktek kekerasan yang mengatasnamakan agama, dari fundamentalisme, radikalisme, hingga terorisme, akhir-akhir ini semakin marak di tanah air. Kesatuan dan persatuan bangsa saat ini sedang diuji eksistensinya. Berbagai indikator yang memperlihatkan adanya tanda-tanda perpecahan bangsa, dengan transparan mudah kita baca. Konflik di Ambon, Papua, maupun Poso. Bila kita amati, agama seharusnya dapat menjadi pendorong bagi umat manusia untuk selalu menegakkan perdamaian dan meningkatkan kesejahteraan bagi seluruh umat di bumi ini. Namun, realitanya agama justru menjadi salah satu penyebab terjadinya kekerasan dan kehancuran umat manusia.  Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya preventif agar masalah pertentangan agama tidak akan terulang lagi di masa yang akan datang. Pada sisi yang lain, Kondisi masyarakat Indonesia yang sangat plural baik dari aspek suku, ras, agama serta status sosial memberikan kontribusi yang luar biasa terhadap pe

Apresiasi Sastra Anak

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Di era glob alisasi ini, tentunya kita tahu bahwa teknologi berkembang dengan pesat seiring dengan berkembangnya jaman. Berbagai peralatan yang canggih pun, sekarang sudah tidak sulit untuk didapatkan. Berbagai media hiburan modern seperti televisi, radio, komputer, dan lain sebagainya kini dirasa lebih menarik perhatian daripada hiburan tradisional. Buktinya, di jaman sekarang, anak-anak lebih banyak yang senang memainkan game online dengan laptop dan kebanyakan anak jaman sekarang sudah tidak mengenal permainan tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak pada jaman dahulu. Apalagi, pada jaman sekarang kebanyakan anak sudah memiliki gadget sehingga anak cenderung malas untuk belajar dan lebih memilih bermain game.Tentu saja hal ini akan berakibat pada perkembangan potensi anak yang kurang maksimal sehingga prestasi belajar anak pun kurang memuaskan.Memang dengan adanya perkembangan teknologi saat ini tentunya dapat meningkatkan pen

ADHD dan Tunalaras

ADHD dan Tunalaras A.     Pengertian ADHD ADHD merupkan kependekan dari attention deficit hyperactivity disorder, (Attention = perhatian, Deficit = berkurang, Hyperactivity = hiperaktif, dan Disorder = gangguan). Atau dalam bahasa Indonesia, ADHD berarti gangguan pemusatan perhatian disertai hiperaktif. Sebelumnya, pernah ada istilah ADD, kependekan dari attention deficit disorder yang berarti gangguan pemusatan perhatian. Pada saat ditambahkan 'hiperactivity /hiper-aktif’ penulisan istilahnya menjadi beragam. Ada yang ditulis ADHD, AD-HD, ada pula yang menulis ADD/H. Tetapi, sebenarnya dari tiga jenis penulisan istilah itu, maksudnya sama. Istilah ini merupakan istilah yang sering muncul pada dunia medis yang belakangan ini gencar pula diperbincangkan dalam dunia pendidikan dan psikologi. lstilah ini memberikan gambaran tentang suatu kondisi medis yang disahkan secara internasional mencakup disfungsi otak, di mana individu mengalami kesulitan dalam mengendalikan impuls, m