BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ilmu pengetahuan yang didapat oleh seorang
siswa berpariasi. Ada yang benar-benar memahami pelajaran yang diajarkan oleh
gurunya, ada yang memahaminya hanya setengah-setengah, dan ada yang benar-benar
tidak memahaminya sama sekali.
Hal semacam ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yang diantaranya adalah faktor anak itu sendiri, yaitu berupa cara
mereka yang berbeda-beda dalam menangkap ilmu itu sendiri, adanya pengaruh dari
lingkungan baik lingkungan sekolah, rumah atupun lingkungan sosial, dan juga
karena seorang siswa itu memiliki keaktifan didalam kelas yang berbeda-beda.
Faktor yang kedua adalah faktor guru itu
sendiri. Disini guru sangat memiliki peran yang sangat penting demi mewujudkan
anak didik yang berprestasi. Akan tetapi seorang guru juga harus tahu bahwa,
setiap anak didiknya itu untuk dapat memahami apa yang disampaikan oleh
dirinya, mereka menggunakan cara mereka masing-masing untuk memahami hal
tersebut.
Oleh karena itu seorang guru harus memiliki
metode tersendiri, agar semua anak didiknya bias memahami dan mengerti tentang
materi yang disampaikannya. Di makalah ini ada beberapa unsur dan teori-teori
yang yang perlu diketahui agar seorang guru demi mendapatkan hasil yang
memuaskan dalam kegitan pembelajaran.
B.
RUMUSAN
MASALAH
Masalah-masalah yang akan dibahas didalam
makalah ini, dapat dirumuskan sebagai berikut :
·
Bagaimana pengaruh behaviorisme dengan
pembelajaran.
·
Bagaimana bentuk pendekatan relistik di
SD.
·
Bagaimana gambaran soal yang dapat
dibentuk dengan pendekatan realistic tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
BEHAVIORISME
1.
Pengertian
Behaviorisme
Behaviorisme adalah teori perkembangan perilaku,
yang dapat diukur, diamati dan dihasilkan oleh respons pelajar terhadap
rangsangan. Tanggapan terhadap rangsangan dapat diperkuat dengan umpan balik
positif atau negatif terhadap perilaku kondisi yang diinginkan. Hukuman
kadang-kadang digunakan dalam menghilangkan atau mengurangi tindakan tidak
benar, diikuti dengan menjelaskan tindakan yang diinginkan.
Pendidikan behaviorisme merupakan kunci
dalam mengembangkan keterampilan dasar dan dasar-dasar pemahaman dalam semua
bidang subjek dan manajemen kelas. Ada ahli yang menyebutkan bahwa teori belajar
behavioristik adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai
secara konkret.
Ciri dari teori belajar
behaviorisme adalah
mengutamakan unsur-unsur dan bagian kecil, bersifat mekanistis, menekankan
peranan lingkungan, mementingkan pembentukan reaksi atau respon, menekankan
pentingnya latihan, mementingkan mekanisme hasil belajar,mementingkan peranan
kemampuan dan hasil belajar yang diperoleh adalah munculnya perilaku yang
diinginkan. Guru yang menganut pandangan ini berpandapat bahwa tingkahlaku
siswa merupakan reaksi terhadap lingkungan dan tingkahl laku adalah hasil
belajar.
Dalam hal konsep pembelajaran, proses
cenderung pasif berkenaan dengan teori behavioris. Pelajar menggunakan tingkat
keterampilan pengolahan rendah untuk memahami materi dan material sering
terisolasi dari konteks dunia nyata atau situasi. Little tanggung jawab
ditempatkan pada pembelajar mengenai pendidikannya sendiri.
2.
Tokoh
dan Teorinya
Ada beberapa tokoh
dan teori dalam behaviorisme. Tokoh-tokoh
aliran behavioristik tersebut antaranya adalah Thorndike, Watson, Clark
Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner. Berikut akan dibahas karya-karya para
tokoh aliran behavioristik dan analisis serta peranannya dalam pembelajaran
1. Teori belajar menurut Thorndike
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus
adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran,
perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera. Sedangkan
respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang dapat
pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan/tindakan. Jadi perubahan tingkah
laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu yang dapat diamati,
atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme
sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat menjelaskan bagaimana cara
mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Teori Thorndike ini disebut
pula dengan teori koneksionisme (Slavin, 2000).
Ada tiga hukum belajar yang utama,
menurut Thorndike yakni (1) hukum efek; (2) hukum latihan dan (3) hukum
kesiapan (Bell, Gredler, 1991). Ketiga hukum ini menjelaskan bagaimana hal-hal
tertentu dapat memperkuat respon.
2. Teori belajar menurut Watson
Watson mendefinisikan belajar sebagai proses interaksi antara
stimulus dan respon, namun stimulus dan respon yang dimaksud harus dapat
diamati (observable) dan dapat diukur. Jadi walaupun dia mengakui adanya
perubahan-perubahan mental dalam diri seseorang selama proses belajar, namun dia
menganggap faktor tersebut sebagai hal yang tidak perlu diperhitungkan karena
tidak dapat diamati. Watson adalah seorang behavioris murni, karena kajiannya
tentang belajar disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperi Fisika atau Biologi
yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik semata, yaitu sejauh mana
dapat diamati dan diukur.
3. Teori belajar menurut Clark Hull
Clark Hull juga menggunakan variabel
hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian
belajar.
Namun dia sangat terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull,
seperti halnya teori evolusi, semua fungsi tingkah laku bermanfaat terutama
untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull
mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive
reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan
manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan
kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud
macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga
dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991).
4. Teori belajar menurut Edwin Guthrie
Azas belajar Guthrie yang utama adalah hukum
kontiguiti. Yaitu gabungan stimulus-stimulus yang disertai suatu gerakan, pada
waktu timbul kembali cenderung akan diikuti oleh gerakan yang sama (Bell,
Gredler, 1991). Guthrie juga menggunakan variabel hubungan stimulus dan respon
untuk menjelaskan terjadinya proses belajar. Belajar terjadi karena gerakan
terakhir yang dilakukan mengubah situasi stimulus sedangkan tidak ada respon
lain yang dapat terjadi. Penguatan sekedar hanya melindungi hasil belajar yang
baru agar tidak hilang dengan jalan mencegah perolehan respon yang baru.
Hubungan antara stimulus dan respon bersifat sementara, oleh karena dalam
kegiatan belajar peserta didik perlu sesering mungkin diberi stimulus agar
hubungan stimulus dan respon bersifat lebih kuat dan menetap. Guthrie juga
percaya bahwa hukuman (punishment) memegang peranan penting dalam proses
belajar. Hukuman yang diberikan pada saat yang tepat akan mampu mengubah
tingkah laku seseorang.
Saran utama dari teori ini adalah guru
harus dapat mengasosiasi stimulus respon secara tepat. Pebelajar harus
dibimbing melakukan apa yang harus dipelajari. Dalam mengelola kelas guru tidak
boleh memberikan tugas yang mungkin diabaikan oleh anak (Bell, Gredler, 1991).
5. Teori belajar menurut Skinner
Konsep-konsep yang dikemukanan Skinner
tentang belajar lebih mengungguli konsep para tokoh sebelumnya. Ia mampu
menjelaskan konsep belajar secara sederhana, namun lebihkomprehensif. Menurut
Skinner hubungan antara stimulus dan respon yang terjadi melalui interaksi
dengan lingkungannya, yang kemudian menimbulkan perubahan tingkah laku,
tidaklah sesederhana yang dikemukakan oleh tokoh tokoh sebelumnya. Menurutnya
respon yang diterima seseorang tidak sesederhana itu, karena stimulus-stimulus
yang diberikan akan saling berinteraksi dan interaksi antar stimulus itu akan mempengaruhi
respon yang dihasilkan. Respon yang diberikan ini memiliki
konsekuensi-konsekuensi. Konsekuensi-konsekuensi inilah yang nantinya
mempengaruhi munculnya perilaku (Slavin, 2000). Oleh karena itu dalam memahami
tingkah laku seseorang secara benar harus memahami hubungan antara stimulus
yang satu dengan lainnya, serta memahami konsep yang mungkin dimunculkan dan
berbagai konsekuensi yang mungkin timbul akibat respon tersebut. Skinner juga
mengemukakan bahwa dengan menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat
untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan menambah rumitnya masalah. Sebab
setiap alat yang digunakan perlu penjelasan lagi, demikian seterusnya.
Aliran psikologi
belajar yang sangat besar pengaruhnya
terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga
kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya
perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model
hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu
yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau
pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan
reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa
hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik
pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang
dirancang dan berpijak pada teori behaviorisme memandang bahwa
pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah
terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan,
sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke
orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk
menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat
dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir
seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut.
Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan
yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang
harus dipahami oleh murid.
Metode behaviorisme ini sangat cocok untuk
perolehan kemampaun yang membuthkan praktek dan pembiasaan yang mengandung
unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan
dan sebagainya, contohnya: percakapan bahasa asing, mengetik, menari,
menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya. Teori ini juga cocok
diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominansi peran orang
dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan
bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
KONSTRUKTIVISME
1. Pengertian Konstruktivisme
Teori
Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat
generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari.
Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa
yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan
pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi
lebih dinamis. Pendekatan konstruktivisme mempunyai beberapa konsep umum
seperti:
1.
Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan
pengalaman yang sudah ada.
2.
Dalam konteks pembelajaran, pelajar
seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3.
Pentingnya membina pengetahuan secara
aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling memengaruhi antara
pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4.
Unsur terpenting dalam teori ini ialah
seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi
baru dengan
pemahamannya yang sudah ada.
5.
Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran
yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari
gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6.
Bahan pengajaran yang disediakan perlu
mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik miknat pelajar.
2.
Pengertian
Pendekatan Realistik
Pengertian pendekatan realistik menurut
Sofyan, (2001:28) “Sebuah pendekatan pendidikan yang berusaha menempatkan
pendidikan pada hakiki dasar pendidikan itu sendiri”.
Menurut Sudarman Benu, (2000:405)
“Pendekatan realistik adalah pendekatan yang menggunakan masalah situasi dunia
nyata atau suatu konsep sebagai titik tolak dalam belajar matematika”.
Matematika realistik yang telah diterapkan
dan dikembangkan di Belandateorinya mengacu pada matematika harus dikaitkan
dengan realitas dan matematika merupakan aktifitas manusia.
Dalam pembelajaran melalui pendekatan,
strategi-strategi informasi manusia berkembang ketika mereka menyelesaikan masalah
pada situasi-situasi biasa yang telah diakrapinya, dan keadaan itu yang
dijadikannya titik awal pembelajaran pendekatan realistic atau Realistic Mathematic
Education (RME) juga diberi pengertian “Cara mengajar dengan memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menyelidiki dan memahami konsep matematika
melalui suatu masalah dalam situasi yang nyata”. (Megawati, 2003: 4). Hal ini
dimaksudkan agar pembelajaran bagi siswa.
Realistic Mathematic Education (RME) adalah
pendekatan pengajaran yang bertitik tolak pada hal-hal yang real bagi
siswa(Zulkardi). Teori ini menekankan keterampilan proses, berdiskusi, dan
berkolaborasi, berargumentasi dengan teman sekelas sehingga mereka dapat
menemukan sendiri(Student Invonting), sebagai kebalikan guru member(Teaching
Telling) dan pada akhirnya murid menggunakan matematika itu untuk menyelesaikan
masalah baik secara individual maupun kelompok.
Pada
pendekatan realistik peran guru tidak lebih dari seorang fasilitator,
moderator, atau evaluator. Sementara murid berpikir, mengkomunikasikan
argumennya, mengklasifikasikan jawaban mereka, serta melatih saling menghargai
strategi atau pendapat orang lain. Menurut De Lange dan Van Den Heuvel
Parhizen, RME ini adalah pembelajaran yang mengacu pada konstruktifis sosial
dan dikhususkan pada pendidikan matematika.
Dari beberapa pendapat diatas dapat
dikatakan bahwa RME atau pendekatan realistik adalah pendekatan pembelajaran
yang menggunakan masalah sehari-hari sebagai sumber inspirasi dalam bentuk
konsep dan mengaplikasikan konsep-konsep tersebut atau biasa dikatakan suatu
pembelajaran matematika yang berdasarkan pada hal-hal nyata atau real bagi
siswa dan mengacu pada konstruktivis sosial.
a.
Teori
Belajar Kognitif
Teori belajar kognitif lebih menekankan pada belajar merupakan suatu
proses yang terjadi dalam akal pikiran manusia. Seperti juga diungkapkan oleh
Winkel (1996: 53) bahwa “Belajar adalah
suatu aktivitas mental atau psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan
pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif
dan berbekas”.
Teori belajar
kognitif ini memfokuskan perhatiannya kepada bagaimana dapat mengembangkan
fungsi kognitif individu agar mereka dapat belajar dengan maksimal. Faktor
kognitif bagi teori belajar kognitif merupakan faktor pertama dan utama yang
perlu dikembangkan oleh para guru dalam membelajarkan peserta didik, karena
kemampuan belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh sejauh mana fungsi
kognitif peserta didik dapat berkembang secara maksimal dan optimal melalui
sentuhan proses pendidikan.
Peranan guru
menurut teori belajar kognitif ialah bagaimana dapat mengembangkan potensi
kognitif yang ada pada setiap peserta didik. Jika potensi yang ada pada setiap
peserta didik telah dapat berfungsi dan menjadi aktual oleh proses pendidikan
di sekolah, maka peserta akan mengetahui dan memahami serta menguasai materi
pelajaran yang dipelajari di sekolah melalui proses belajar mengajar di kelas.
Pengetahuan tentang
kognitif peserta didik perlu dikaji secara mendalam oleh para calon guru dan
para guru demi untuk menyukseskan proses pembelajaran di kelas. Tanpa
pengetahuan tentang kognitif peserta didik guru akan mengalami kesulitan dalam
membelajarkan peserta didik di kelas yang pada akhirnya mempengaruhi rendahnya
kualitas proses pendidikan yang dilakukan oleh guru di kelas melalui proses
belajar mengajar antara guru dengan peserta didik.
Dalam penerapan teori belajar kognitif,
kebebasan dan keterlibatan siswa secara aktif dalam proses belajar mengajar
amat diperhitungkan agar aktivitas belajar menjadi lebih bermakna bagi
siswa. Prinsip-prinsip belajar yang
dianut adalah berikut ini:
1. Siswa mengalami perkembangan kognitif melalui
tahap-tahap tertentu sampai mencapai kematangan kognitif seperti orang dewasa.
2. Pembelajaran perlu dirancang agar sesuai dengan
perkembangan kognitif siswa.
3. Agar proses asimilasi dan akomodasi pengetahuan dan
pengalaman dapat terjadi, siswa perlu dilibatkan secara aktif dalam belajar.
4. Pengalaman atau informasi baru perlu dikaitkan dengan
struktur kognitif yang telah dimiliki oleh siswa untuk menarik minat dan
meningkatkan retensi.
5. Belajar memahami akan lebih bermakna daripada belajar
menghafal.
6. Perbedaan individual antarsiswa perlu
diperhatikan dalam rangka mencapai keberhasilan belajar.
b.
Tokoh
dan Teori Kognitif
1. Piaget
Menurut Piaget,
bahwa belajar akan lebih berhasil apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan
kognitif peserta didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk
melakukan eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan
teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru hendaknya
banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik agar mau berinteraksi dengan
lingkungan secara aktif, mencari dan menemukan berbagai hal dari lingkungan.
Menurut Piaget
aspek perkembangan kognitif meliputi empat tahap, yaitu:
a)
Sensory-motor (sensori-motor 0 sampai < 2 tahun)
Selama perkembangan
dalam periode ini berlangsung sejak anak lahir sampai usia 2 tahun, intelegensi
yang dimiliki anak tersebut masih berbentuk primitif dalam arti masih
didasarkan pada perilaku terbuka. Meskipun primitif dan terkesan tidak penting,
intelegensi sensori-motor sesungguhnya merupakan intelegensi dasar yang amat
berarti karena ia menjadi pondasi untuk tipe-tipe intelegensi tertentu yang
akan dimiliki anak tersebut kelak.
b)
Pre
operational (praoperasional 2 sampai < 7 tahun)
Perkembangan ini
bermula pada saat anak berumur 2-7 tahun dan telah memiliki penguasaan
sempurna mengenai objek permanence, artinya anak tersebut sudah memiliki kesadaran akan
tetap eksisnya suatu benda yang ada atau biasa ada, walaupun benda tersebut
sudah ia tinggalkan atau sudah tak dilihat dan tak didengar lagi. Jadi,
padangan terhadap eksistensi benda tersebut berbeda dari pandangan pada periode
sensori-motor, yakni tidak lagi bergantung pada pengamatan belaka.
c)
Concrete
operational (konkret-operasional
7 sampai < 11 tahun)
Dalam periode
konkret operasional ini belangsung hingga usia menjelang remaja, kemudian anak
mulai memperoleh tamnbahan kemampuan yang disebut sistem of operations (satuan
langkah berfikir). Kemampuan ini berfaedah bagi anak untuk mengkoordinasikan pemikiran
dan idenya dengan peristiwa tertentu dalam sistem pemikirannya sendiri.
d)
Formal
operational (formal-operasional
11 sampai < 15 tahun)
Dalam perkembngan
formal operasional, anak yang sudah menjelang atau sudah menginjak masa remaja,
yakni usia 11-15 tahun, akan daapat mengatasi masalah keterbatasan pemikiran.
Dalam pperkembangan kognitif akhir ini seorang remaja telah memiliki kemampuan
mengkoordinasikan baik secara simultan (serentak) maupun berurutan dua ragam
kemampuan kognitif, yakni: a. kapasitas menggunakan hipotesis, b. kapasitas
menggunakan prinsip-prinsip abstrak
Menurut Jean
Piaget, bahwa proses belajar sebenarnya terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
a. Asimilasi yaitu
proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif
yang sudah ada dalam benak siswa. Contoh, bagi siswa yang sudah mengetahui
prinsip penjumlahan, jika gurunya memperkenalkan prinsip perkalian, maka proses
pengintegrasian antara prinsip penjumlahan (yang sudah ada dalam benak siswa),
dengan prinsip perkalian (sebagai informasi baru) itu yang disebut
asimilasi.
b. Akomodasi yaitu penyesuaian struktur
kognitif ke dalam situasi yang baru. Contoh, jika siswa diberi soal perkalian,
maka berarti pemakaian (aplikasi) prinsip perkalian tersebut dalam situasi yang
baru dan spesifik itu yang disebut akomodasi.
c. Equilibrasi (penyeimbangan) yaitu
penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Contoh, agar siswa
tersebut dapat terus berkembang dan menambah ilmunya, maka yang bersangkutan
menjaga stabilitas mental dalam dirinya yang memerlukan proses penyeimbangan
antara “dunia dalam” dan “dunia luar”.
2. David Ausubel
David Ausubel merupakan salah satu tokoh
ahli psikologi kognitif yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa
sangat ditentukan oleh kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Ausubel
mengidentifikasikan empat kemungkinan tipe belajar, yaitu :
1) belajar dengan penemuan yang bermakna,
2) belajar dengan ceramah yang bermakna,
3) belajar dengan penemuan yang tidak bermakna, dan
4) belajar dengan ceramah yang tidak bermakna.
Dia
berpendapat bahwa menghafal berlawanan dengan bermakna,
karena belajar dengan menghafal, peserta didik tidak dapat mengaitkan informasi
yang diperoleh itu dengan pengetahuan yang telah dimilikinya.
3. Jerome
Bruner
Dalam teori belajar, Jerome
Bruner berpendapat bahwa
kegiatan belajar akan
berjalan baik dan kreatif jika siswa dapat menemukan sendiri suatu aturan atau
kesimpulan tertentu. Dalam hal ini Bruner membedakan menjadi tiga tahap. Ketiga tahap itu
adalah:
1) tahap informasi, yaitu tahap awal untuk
memperoleh pengetahuan atau pengalaman baru,
2) tahap transformasi, yaitu
tahap memahami, mencerna dan menganalisis pengetahuan baru serta
mentransformasikan dalam bentuk baru yang mungkin bermanfaat untuk hal-hal yang
lain, dan
3) evaluasi, yaitu untuk mengetahui
apakah hasil tranformasi pada tahap kedua tadi benar atau tidak.
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang
terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan,
yaitu:
1.
Tahap enaktif, artinya dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motorik. Misalnya, melalui gigitan,
sentuhan, pegangan, dan sebagainya.
2.
Tahap ikonik, dalam memahami dunia sekitarnya
anak belajar melalui melalui bentuk perumpamaan (tampil) dan perbandingan
(komparasi).
3.
Tahap simbolik, dalam memahami dunia
sekitarnya anak belajar melalui simbol-simbol bahasa, logika, matematika, dan
sebagainya.
c.
Tujuan
Pendidikan Menurut Teori Belajar Kognitif
·
Kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga
terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat
dikonstruksi oleh peserta didik.
·
Latihan memecahkan masalah seringkali
dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan
sehari-hari
·
Peserta didik diharapkan selalu aktif dan
dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya.
·
Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator,
fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya
konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.
d. Implikasi Teori Perkembangan Kognitif
·
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan
orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang
sesuai dengan cara berfikir anak.
·
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila
dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
·
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya
dirasakan baru tetapi tidak asing.
·
Berikan peluang agar anak belajar sesuai
tahap perkembangannya.
·
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi
peluang untuk saling berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Semoga makalah ini banyak memberikan
mamfaat bagi kita semua, khususny kita calon-calon guru SD yang akan datang.
Dengan makalah ini kiranya kita dapat menjadikan diri kita menjadi lebih baik.
Karena makalah ini memberikan beberapa cara atau langkah-lanhkah dalam
memberikan pembelajaran nantinya di sekolah dasar.
Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam
makalah ini menyangkut soal “Paradigma Pembelajaran” maka dapat disimpulkan
sebagai berikut :
·
Perlunya pengetahuan kita untuk mengkaji
cara untuk memberikan materi untuk anak didik kita nanti, agar tidak monoton
nantinya dan membuat anak didik kita tikak bosan.
·
Perlunya kekreatifan seorang pengajar
dalam melakukan pembelajaran.
Adanya hubungan
antara keberhasilan seorang siswa dalam menangkap materi dengan cara seorang
guru memberikan materi tersebut.
Komentar